Umrah  

Diposting oleh defrin

Seperti mayat yang kehilangan raganya, aku terus mencari-cari dimana raga itu berlabuh. Menelusuri seisi rumahmu. Kadang berputar, seperti mainan gangsing yang dipelintir, kadang pula bersimpuh diantara batu suci nan hitam di pojok rumahmu, bahkan airmataku tak malu-malu membanjiri tempat sepetak, antara batumu dan pintu rumahmu.

Tapi tak jua kutemukan raga

Dan aku terus berputar, seperti tengah menikmati sebuah tarian, sampai pada suatu ketika, tepat di putaran ganjil terakhir, aku seperti terangkat ke angkasa, terbawa arus sebesar angin beliung, tubuhku asap, jiwaku kapas, pikiranku lenyap, saat sekajap, aku sudah bersujud di langit tujuh tingkat.

Ah, inikah yang kau sebut peleburan? Saat satu putaran di rumahmu, kau setarakan dengan satu putaran di langitmu.

Aku terjatuh, terkulai lemas di hambaran sajadahmu, saat itu aku merasakan seperti seorang perempuan yang baru saja orgasme, sendi-sendi di tubuhku sepertinya terputus, urat-urat di nadiku bagaikan benang kusut, aliran darah merah sudah seperti sisa sperma yang menetes di bibir perempuan berwajah drakula.

Dan saat itulah, aku benar-benar tak kuasa bangkit, tapi engkau terasa lebih dekat, dekat sekali, sepertinya kau sedang berada di urat nadi.

Kau hidangkan aku segelas air jernih di altarmu, lalu kuteguk, kuraih segelas lagi, kemudian kuteguk lagi, sampai aku benar-benar menjelma seorang pemabuk yang tenggelam di sebuah pemandian tuak serupai sungai.

Lalu kini aku bangkit, samar-samar kedengar suaramu memanggil diantara dua pebukitan mungil, kukejar seketika, kemudian aku berlari sesekali bersenandung lagu cinta, tangisan dosa, dan teriakan ampunan seorang hamba.

Persis seperti seorang bocah yang kehilangan layang-layangnya, menerebos ilalang diantara bebatuan, duri-duri tajam nan menyeramkan sama sekali tak ia hiraukan, ia terus saja berlari, berlari, sampai pada akhirnya, ia kembali dengan layang-layang di jemari.

Dan begitulah cinta, saat kita berani menyelamnya, kita sudah masuk ke ruang alam bawah sadar. Tak ada luka, tak ada dusta, juga tak ada duka disana, yang tampak oleh mata hanyalah surga, surga, surga bagi para pecinta.

Labbaik Allahumma Labbaik...

Kupenuhi panggilanmu, oh Tuhanku...

Haji Itu,  

Diposting oleh defrin

Haji adalah secankir kopi manis yang dibuat oleh perempuan berwajah gerimis, diaduk dengan jari manisnya yang lentik, lalu dihidangkan saat pagi menggigil,tepat di sebuah puncak pegunungan.

Tapi bisa jadi, haji itu seperti sepetak rumah kecil, dari fentilasinya memancarkan berjuta warna pelangi yang dibiaskannya dari langit sana, sehingga, seisi rumah terlihat seperti kebun pelangi, lebih-lebih saat burung kolibri dan burung nuri menari-nari manja seperti bidadari yang sedang mandi.

Tapi mungkin saja, haji itu sedasyat arak bali yang diteguk samai mabuk saat musim dingin benar-benar menyentuh 0 derajat celcius.

Dan haji yaitu jingkrakan pemuda yang tengah khusuk menikmati petikan melodi gitar, betotan bass, dan dentuman drum yang lama-kelamaan suaranya hampir mengalahi teriakan malaikat, lalu rambut yang tergerai jatuh di pundaknya, tak pernah berhenti berputar mengitari frekuensi suara itu lahir.

Haji itu sederhana lho, tidak lebih dari Nikotin yang mau tidak mau harus dibubuhi di setiap batang rokok.

Haji itu biola, yang dimainkan seorang anak bisu, sebagai bahasa pengantar nuraninya.

Haji adalah lensa kamera di tangan fotografer saat memandangi seorang perempuan berkulit bening tanpa sehelai kain, tengah bermetamorfosis menjelma bidadari, tepat di sebuah taman kupu-kupu saat senja perlahan menjingga.

Haji itu laki-laki yang menyimpan selingkuhannya di kamar sang istri, sampai tak terasa, ia sudah punya anak lima.

Ah... Sudahlah, yang jelas, haji itu surga dunia.

Saat Melihat Gadis Mesir itu, Aku Menulis...  

Diposting oleh defrin

Seperti halnya aku dan kotamu, yang hidup berdekatan, tapi tak sekalipun saling pandang, apalagi untuk bertukar selendang. Ah Cantik, parasmu benar-benar mawar di tengah padang pasir nan gersang.

Ada kalanya, aku harus membenci jarak, dan berterimakasih pada waktu. Karena seandainya di dunia ini tidak ada waktu, bagaimana mungkin jarak mampu mempertemukan titik fokus di mataku pada matamu dalam satu tempo?

Sebentar, Matamu...?

Apa betul, dialah yang menusuk matahari, hingga sinarnya terpancar ke bumi? Tapi barangkali hal demikian terlalu berlebihan. Karena aku lebih suka mengatakan; matamu memang tajam, hanya bisa membuatku sedikit kesakitan.

Tapi kau seakan tak terima pada hipotesa diatas, lewat lirikan mungil yang kau kibaskan tepat di hidungku, sepertinya kau hendak menyangkal; mengapa harus memilih kata "kesakitan" daripada "menikmati diam-diam"?

Ahhh, apa yang kau ketahui tentang naluri kelelakian? Bagaimana kau mengerti tentang prinsip heroisme, perfeksionisme dalam psikologis seorang berdada bidang?

Kemarilah, akan aku bisikkan tentang satu hal; menikmatimu dalam diam, sungguh lebih menyakitkan daripada harus tertikam oleh matamu yang pedang.

Kau tahu kenapa?

Karena pekan datang, aku akan meninggalkan kota dan matamu, lantas, bagaimana mungkin aku bisa menikmatimu dalam diam, sedang pandangan kita sudah tak lagi satu mata?

Mata kita, sudah tak lagi satu kota.

Dan kota kita, sudah tak lagi satu hasta.

"Gadis, maukah kau memberikan keringatmu?"

"Untuk apa tamuku?"

"Untuk bekal rindu, pada musim panasmu"