Hari ini, aku dan kamu sudah tak lagi berdua dalam satu angkot, musim hujan yang selalu membawa hawa dingin pada kemesraan kita, kini telah beralih ke musim kemarau, bahkan warna baju kita yang selalu satu warna, saat ini, sudah kian memudar. Tapi apakah hal demikian juga berlaku pada cinta kita? "Kau percaya akan adanya jodoh, Sayang?" Ah...ternyata kemarau tak pernah mampu mengeringkan rindu "Hanya sekedar percaya, dan tak meyakininya" "Maksudmu?" Lagi-lagi alismu meretakkan lengkungan pelangi "Apa kau kira, Mesir dan Piramida hanyalah peristiwa kebetulan jodoh belaka? Tidak, Sayang. Proses pembangunannya saja membutuhkan waktu sekitar dua puluh tahun dengan mempekerjakan lebih dari sepuluh ribu budak, Apakah itu kebetulan?" "Lalu?" "Bagiku, jodoh bukanlah misteri alam, karena diatas segala hal adalah Akal, dan akallah yang akan mendorong sebuah perilaku, sedangkan perilaku tersebut akan melahirkan sebuah nilai, nah nilai itulah yang disebut dengan Jodoh" "Lalu apakah kita berjodoh?" Belum sempat kujawab, kau telah lebih dulu meminang rembulan. Malam ini, aku dan kamu sudah tak lagi memetik satu bintang, kau lebih suka pada Venus, sedangkan aku, lebih cinta pada Mars. Tapi bukankah keduanya akan selalu mengitari matahari? Dan pada suatu saat nanti, Venus dan Mars akan berdekapan mesra di sisi rembulan. Pagi ini, aku dan kamu sudah tak lagi menikmati hujan sisa semalam, kau lebih suka berlari mengejar matahari, dan aku, masih berdiam diri dengan secarik puisi "Untuk apa lagi Kau menulis puisi?" "Sekedar mengabadikan kenangan, karena mencintaimu, adalah mencintai kenangan" "Apa Kau ingat dimana cinta itu dilahirkan?" Belum sempat kau jawab, kau telah hilang ingatan.