Seperti halnya aku dan kotamu, yang hidup berdekatan, tapi tak sekalipun saling pandang, apalagi untuk bertukar selendang. Ah Cantik, parasmu benar-benar mawar di tengah padang pasir nan gersang. Ada kalanya, aku harus membenci jarak, dan berterimakasih pada waktu. Karena seandainya di dunia ini tidak ada waktu, bagaimana mungkin jarak mampu mempertemukan titik fokus di mataku pada matamu dalam satu tempo? Sebentar, Matamu...? Apa betul, dialah yang menusuk matahari, hingga sinarnya terpancar ke bumi? Tapi barangkali hal demikian terlalu berlebihan. Karena aku lebih suka mengatakan; matamu memang tajam, hanya bisa membuatku sedikit kesakitan. Tapi kau seakan tak terima pada hipotesa diatas, lewat lirikan mungil yang kau kibaskan tepat di hidungku, sepertinya kau hendak menyangkal; mengapa harus memilih kata "kesakitan" daripada "menikmati diam-diam"? Ahhh, apa yang kau ketahui tentang naluri kelelakian? Bagaimana kau mengerti tentang prinsip heroisme, perfeksionisme dalam psikologis seorang berdada bidang? Kemarilah, akan aku bisikkan tentang satu hal; menikmatimu dalam diam, sungguh lebih menyakitkan daripada harus tertikam oleh matamu yang pedang. Kau tahu kenapa? Karena pekan datang, aku akan meninggalkan kota dan matamu, lantas, bagaimana mungkin aku bisa menikmatimu dalam diam, sedang pandangan kita sudah tak lagi satu mata? Mata kita, sudah tak lagi satu kota. Dan kota kita, sudah tak lagi satu hasta. "Gadis, maukah kau memberikan keringatmu?" "Untuk apa tamuku?" "Untuk bekal rindu, pada musim panasmu"