Kata pujangga, aku tercipta untuk melengkapi sepasang cinta yang terselubung asmara, akulah penyatu cinta Adam dan Hawa, akulah yang mempertemukan cinta Qais dan Layla, akulah yang menghubungkan cinta Romeo dan Juliet, tapi aku bukan pelacur, yang menunggu lelaki bermain di kasur, aku juga bukan germo, yang mempersembahkan bidadari pada lelaki berduri, tepatnya, aku hanya penghias kamar tidur.
Semua lelaki menyukai tubuhku, bahkan mereka tak segan-segan mencumbuiku di depan kekasihnya sebelum mencumbui bibir kekasihnya, entah, apakah aroma tubuhku terlalu menyengat hingga parfum yang melekat di tubuh kekasihnya terpaksa bersujud pada aromaku, atau mungkin saja warna kulitku yang merah legam hingga menutupi kulit putih kekasihnya.
Sejak aku lahir, begitulah kehidupanku, hanya tercipta sebagai makhluk penghibur, padahal aku ingin bebas, aku ingin terbang menggagahi langit jingga, sambil menari diatas taman penuh cinta, tapi aku tak pernah mendapatkan impian itu, selalu saja kodrat dan nasib menghalanginya, apa Tuhan telah gagal memproduksiku? Atau mungkin karena sifatku yang selalu menginginkan semua sesuatu secara instant, ya, pagi hari cukup berdandan sederhana lalu menari mengikuti orkesta angin ditemani nyanyian matahari dan berhenti setelah satu sampai tiga tangan membawaku ke apatementnya, malam harinya, aku telah layu, tersapu benalu, sangat instant bukan?
***
Seorang perempuan cantik berkulit putih bening berjalan di sampingku, mata mungilnya menelanjangi tubuh telanjangku, disentuhlah aku dengan jemari lembutnya, dieluslah aku dengan jemari lentiknya, hingga duri yang menggigit jemarinya tak ia rasakan perih, malah tangannya semakin liar menggrogoti tubuhku, setelah beberapa detik kemudian ia telah membawaku berjalan ke rumahnya, kelopak merahku ia genggam erat-erat, tersirat dari genggamannya, bahwa ia telah menemukan kekuatannya yang lama terpendam.
Sesampainya di kamar, ia meletakkanku terlentang di kasur lembutnya, tak kusangka, ternyata di kasurnya, terdapat beberapa mawar sejenisku yang semuanya layu, warna merahnya telah menjelma hitam pekat, aroma khasnya telah terkontaminasi oleh aroma parfum yang menyamai aromaku, setelah meninggalkanku sendiri di tepi kasur, ia beranjak ke arah meja belajar, menuliskan sesuatu pada kertas berwarna merah muda, “Mawar ke sembilan puluh sembilan”, disusul senyum manis yang mengembang di bibirnya.
“krek” tiba-tiba daun pintu menyapa, matanya melongoh ke arah pintu, dan mendapatkan seorang lelaki tengah berdiri disana, lelaki separuh baya dengan sarung dan kemeja kotak-kotak itu menghampirinya yang berdiri tegak, senyuman yang sedari tadi mengembang tiba-tiba mengerut, kusut persis seperti mimik mukanya.
“sekarang” ucap lelaki tadi, dengan suara agak keras.
“aku sedang datang bulan” rengeknya lembut pada lelaki di depannya.
“aku tak butuh alasan” lalu lelaki itu mendekat ke arahnya, kini, tubuhnya dan tubuh lelaki itu hanya berjarak satu senti, dijambaknya rambut perempuan kecil itu, lalu wajahnya mendekat pada daun telinganya yang mungil, dan berbisik lirih “ingat ibumu, dia akan lebih kesakitan jika saat ini kau menolak permintaanku”
Ia tak berbuat apa-apa, hanya mencoba menahan muntah ketika nafas lelaki itu bermain nakal pada bagian telinga dan leher jenjangnya, dalam hitungan detik, ia telah terhipnotis, otaknya kosong, jiwanya bengong, memandangi kaos ketatnya yang berlari meninggalkan tubuhnya, bersujud di lantai.
Desiran angin pagi yang dingin, sesekali kurasakan hendak menolong si perempuan tadi, ia membentak sambil membantingkan dirinya ke kaca jendela, dengan sepenuh kekuatan, ia dorong lelaki itu dengan tenaganya, usaha sang angin tak sia-sia, ia telah berhasil merobohkan tubuh kekar sang lelaki, tapi sayang, ia tak terpintal ke lantai, malah, tubuhnya terjatuh tepat di tengah-tengah tubuh perempuan mungil itu.
“Ah angin, sial sekali kau, senjata yang kau gunakan menusuk musuhmu malah meleset dan mengena perut anakmu” ucapku lirih pada angin.
Aku yang sedari tadi mematung sendiri, ingin sekali menuusuk lelaki keparat itu dengan duriku, baru saja kuayuhkan duriku ke tubuhnya, tiba-tiba duri tumpul lelaki itu telah dulu menusuk dan menghardik tubuh mungil di bawahnya,
“ah kasihan sekali engkau duri, meski kau terlihat lebih tajam, tapi terkalahkan oleh benda besar, besar memang selalu menang.” Ucapku menenangkan duri.
akhirnya kuasa yang kumiliki nyaris sirna, aku sadar, aku hanya setangkai mawar yang tercipta meladeni kumbang, aku hanya tercipta sebagai penghias halaman belakang, sesekali penghias kamar tidur.
Setelah puas menghisap sari si perempuan, lelaki itu beranjak dari letihnya, mengusap keringat hangat di tubuhnya seraya memperbaiki sarung dan kemejanya, lalu berjalan menuju pintu, sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, ia palingkan badanya ke arah perempuan di dekatku, “sehari ini, ibumu akan mendapatkan tiga kali jatah makan”
Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya membawanya keluar meninggalkan aku dan perempuan disampingku.
Ia masih menangis di bibir ranjang, mencoba memungut kekuatan Tuhan, aku lihat tangannya menjalar ke laci meja samping kasurnya, lalu mendapatkan selembar foto seorang perempuan cantik, kira-kira masih berumur 30-an, diciumnya foto itu dengan amat mesra, dieratkannya ke dadanya, lalu diciuminya lagi, dan didekatkannya di dadanya, terus seperti itu, sampai ia berhenti ketika tangannya menarik tubuhku yang sedari tadi melamun,
“lihat foto ini mawar, lihat foto ini, ini foto ibuku setahun lalu, masih sangat cantik bukan? Dan apakah kau tahu, siapa lelaki setan tadi? Dia ayah tiriku, sangat baik bukan? Selalu memberikan “nafkah” lebih pada anak perempuannya.”
Mendengar ceritanya padaku, tiba-tiba saja, seluruh kolopak mawarku menghitam lebam, tangkai-tangkai di kakiku mulai layu satu persatu, duri-duriku-pun langsung terkelupas sendiri, aku baru tersadar, ternyata perempuan hanya tercipta untuk urusan sumur, dapur, dan kasur,
“ah perempuan, nasibmu tak kalah miris dengan nasibku, kita tercipta dengan struktur indah, tapi keindahan itulah yang seringkali memenjarai kita, keindahan itulah yang kerap menghantui kita.”
Jiwaku tak kuasa menerima kenyataan perempuan itu, ia berusaha keluar dari raganya, membawa roh yang bersemayam dalam tubuhnya, dengan bantuan hembusan angin, rohnya telah terlepas dari raganya, kini, rohku dan rohnya telah bertemu di langit kamarnya, lalu roh kami bersatu, sedikit sinar matahari yang terpancar dari balik jendela, telah membantu roh kami berfotosintesis, melebur menjadi satu roh, satu raga, satu jiwa, hingga melahirkan setangkai anak mawar hitam kelabu, anak mawar itu menangis sejadinya, sampai-sampai air matanya telah membanjiri seisi ruangan kamar.
Roh kami hitam, raga kami hitam, jiwa kami hitam, meja belajar hitam, seprai dan kasur hitam, lemari pakaian hitam, malah angin yang tak berwarnapun telah menjadi hitam, langit biru kini bagai malam tak berpurnama, dedaunan hijau kini layu tak bertangkai, sungai-sungai yang dialiri air bening kini telah teraliri warna hitamnya, tak ketinggalan wajah-wajah seram manusia, semuanya tampak hitam pekat. Entah dengan Tuhan, malaikat, jin, setan, surga dan nerakanya, hitamkah mereka oleh warna mawar hitam?
“Mawar hitam ke Sembilan puluh Sembilan” tulis Tuhan dibalik langitNya.
This entry was posted
on 23.58
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.
2 komentar