Kyai Germo  

Diposting oleh defrin

"Kak Abdullah, Abi telah menjodohkanku dengan putra seorang Kyai " ucapnya ketika malam sedang bersujud di kaki rembulan, tiba-tiba hawa panas dalam tubuh kurusku menyeruak berantakan, mendidih, membakar peluh yang bertengger luluh.

"kamu mengenalinya dik Fatimah?" tanyaku pada perempuan berkerudung merah
muda yang duduk di sampinku, di teras masjid sebuh pondok.

Udara segar yang dibawa angin malam membelai rok panjangnya, ia benarkan roknya yang tersibak angin nakal, tangannya masih memegang kitab suci yang sedari tadi dihafalnya, kulihat pada bola matanya, tak secerah dulu, tak seindah dulu, tak sesejuk dulu, penyulusuranku pada matanya telah membuat otakku berputar hingga buntu pada dua pertanyaan, mungkinkah air matanya telah kering akibat keputusan abinya?, atau mungkin saja sedang menari-nari setelah dipinang pria berdarah biru? Kuulang pertanyaanku yang sedari tadi menggantung di atas ranting kering belakang masjid.

"kamu kenal dia dik Fatim? Sudah pernah ketemu? Sudah tahu sifat dan karakternya" cerocosku panjang, sampai-sampai tak kusadari, wajahku hampir saja menyantap wajahnya yang hanya berjarak lima centi dari wajahku.

"Belum kak, mukanya saja aku belum tahu, apalagi sifatnya, setahu saya, dia anak Kyai besar di jawa timur" bibirnya yang berkatub telah membuat daun-daun belakang masjid menari keasyikan

"Terus, bagaimana responmu dik?"
"Itu dia masalahnya kak, aku bingung mau berbuat apa"

Aku terdiam, terhenyak bagai rembulan menatapi alam, pikiranku kosong, hening begitu saja, memandangi malam dengan tanpa angan.

***
Pagi ini matahari terbit tak maksimal, sinarnya sedikit tertutup mendung hitam yang sejak malam tadi menemaninya, burung-burungpun mulai malas bernyanyi lagu menyambut pagi, yang kudengar hanyalah suara bising santriwati yang menyapu halaman pondok dengan seabrek gosip barunya, tak kuhiraukan gosip paginya, toh gosipnya tak kan keluar dari bahasan santri-santri ganteng, ustadz-ustadz baru yang culun, atau bahkan gosip tentang calon tunanganganya di rumahnya. Geli juga gosip perempuan, pekikku.

Kulirik jam dinding kamarku, cepat sekali waktu berputar, tak terasa kini sudah setengah delapan lewat lima menit, aku harus bergegas masuk kelas, kini giliranku mengajar Fiqh syafi'Ie di kelas II Aliyah, kuambil kitab fiqh diatas kasurku, sambil memandangi tubuhku yang berdiri tegap di hadapan cermin, lalu kurogoh kantong celanaku, tempat persembunyian rokokku, tapi tak kutemukan, malah sebuah suara aneh tiba-tiba membuyarkan konsentarsi pencarianku, kuintip dari balik jendela kaca yang menghubungkan kamarku dengan ruang tamu.

"kalau kamu tidak mau menikah dengan lelaki itu, lebih baik pergi saja dari rumah ini" teriak seorang bapak di pojok ruangan, kutelisik siapa gerangan disana, dan ternyata Kyai Badri Munir pengasuh pondok yang telah menampungku kurang lebih dua bulan ini, di depannya seorang perempuan putih yang berdiri tegap dengan kepala dan badan agak bungkuk, hanya diam yang menjadi bahasanya, rasa ketakutan dalam dadanya telah ia bungkus secantik mungkin dengan tundukan kepalanya, tak ada yang bisa ia perbuat kecuali menunduk, bungkuk.
Entah angin dari mana yang telah membawa hawa panas neraka, hingga jiwanya mendidih, menggelegar, membongkar kelembutan dalam jiwanya, memasuki pori-pori tubuhnya, setelah beberapa menit, perempuan lugu yang menunduk didepannya telah menjadi monster raksasa yang amat menakutkan,

"Abi, mengapa perempuan selalu dihimpit cita-cita orang tuanya, apa salah perempuan hingga selalu dibawah, ditunggangi oleh keinginan bapaknya, tak adakah hak perempuan saat ini, hingga dia tak dipaksa meladeni mimpi ibunya.
Lalu apa bedanya orang tua macam ini dengan seorang germo pelacur, yang rela menjual cinta anaknya pada laki-laki yang tak dicintainya, yang sudi bibir anaknya dicumbui bibir kering tanpa cinta dan rasa, sampai dadanya diobral begitu saja untuk sarapan neneknya demi kepentingan yayasan berbau meterialistik".
Hardiknya keras, sampai-sampai seisi ruangan telah menggema suaranya, seakan gelas kaca yang duduk di meja makan beterbangan ketakutan oleh suaranya, begitu pula angin sepoi-sepoi didikan pagi telah berubah menjadi topan menakutkan.

"pyar…" satu tamparan mengenai pipi halusnya, tetapi tamparan itu tak ubahnya angin yang menyapu debu, jiwa buasnya tak mampu dilumpuhkan dengan hanya satu pukulan saja.

"Bi, bagiku, darah biru tak kalah mulya dari darah kalelawar, mengintai manusia pada remang, pengecut ketika terang oleh sinar". Cibir perempuan kecil itu.

"Diam kau Fatimah, tahu apa kamu tentang hak perempuan?" wajah Kyai Badri memerah seketika, matanya seakan keluar dari kelopaknya, dalam hatinya tak pernah terdetik anak perempuannya akan menginjak-injak kehormatannya.

"Bi, kelak bagaimana masa depan anak-anakku? masihkah ia mengulangi pelacuran suci ibunya? Masih pantaskah aku mengajarkan puisi cinta padanya? Sedangkan aku telah menjadi pelacur yang digermoi sendiri oleh orang tuaku".

"Pyar, pyar, pyar" tiga kali tamparan abinya telah membuat mulut kecilnya berdarah, kakinya yang sedari tadi berdiri mulai kehilangan kontrol, tubuhnya langsung terkulai lemas diatas karpet yang dipijakinya, ia tatap laki-laki di depannya bak tatapan elang pada mangsanya, ia terdiam sejenak, jiwanya galau, hatinya kalut, nuraninya telah terbakar oleh keputusan pahit Abinya.
Ia terdiam, matanya masih mengelilingi wajah Kyai Badri, dalam keadaan seperti itu, ia bingung mau berbuat apa, lau berlari secepat sinar, tak dihiraukannya abinya yang memanggil dari belakang, telinganya sudah tersumbat oleh perilaku abinya.

Aku beranjak dari balik jendela, menghampiri adik angkatku yang berlari ke halaman pondok.
"Dik fatim" teriakku memanggilnya dari jarak sepuluh meter, ia tolehkan wajahnya ke arahku lalu menghampiriku yang berdiri di pintu kamar, kupersilahkan ia masuk kedalam kamarku, lalu kuhidangkan ia segelas air dingin untuk menyejukkan dadanya yang terbakar amarah.

"Tolong aku kak, calon menantuku akan datang hari ini." raut mukanya menampakkan ketakutan dan kekhawatiran yang sangat mendalam, pada satu sisi, jiwaku tak kuasa memandangi perempuan lemah yang merengek di depanku, di satu lain profesiku menjerat dan memaksaku untuk mendahulukan tugas mengajarku yang hanya bersifat struktural dan formalitas,

"tapi sekarang aku harus ngajar dik, bagaimana kalau nanti malam saja"

Lagi-lagi Air matanya terjatuh pelan-pelan membasahi lesung pipinya, matanya tiba-tiba merona, hidungnya menyeruput ingus yang mengalir bersamaan dengan aliran air matanya, tubuhnya tiba-tiba menggigil, tangan dan bibirnya bergetar menyalami dedaunan yang terhembus angin, garis-garis di dahinya basah oleh peluh yang luluh ketakutan, ia terdiam, memandangi langit-langit kamarku dengan tatapan kosong, mataharipun bungkam, gerimis tak lagi menangis, tunduk akan tangisan air matanya, hembusan angin membawanya beranjak mendekatiku.

Dia terdiam sejenak, mengumpulkan sejuta kekuatan untuk menompang kakinya yang mulai tak terkontrol, dengan sangat tiba-tiba, ia hentakkan tangannya mendorong tubuhku yang berdiri di samping kasur bututku, aku terjatuh memasrah.

"Kali ini aku mohon padamu kak, tolong jadikan aku sebagai istrimu, apa yang kan kau perbuat ketika istrimu dipinang laki-laki lain?
Air matanya tak dapat dibendung lagi, setetes darinya telah membuat nuraniku tak berkutik, aku kikuk, bagai mati rasa, otakku ingin meledak saja, berlari dari kondisi yang sangat mengecam ini.

Nafasku semakin berlari kencang sampai ke ubun-ubun, jiwaku kosong, aku hilang keseimbangan, tubuhku mandi peluh yang luluh akan ucapan melasnya, tak ada yang dapat menolongku kecuali kepakan sayap garuda yang kan membawaku terbang ke langit ketujuh, melupakan nasib na'asnya, tapi hanya angin pagi yang mencoba menerbangkanku, ia tak kuasa dan akhirnya mengelus dadaku agar meladeni permintaannya.

Dia menghampiriku yang duduk di bibir kasur, tak kusangka, dalam hitungan detik, tubuhnya telah menutupi wajahku, dia terdiam sejenak tanpa reaksi apapun, lalu tangan kanannya mencopoti kain yang sejak 19 tahun menutupi tubuhnya, dibukakanlah bagian atas bajunya, hingga pakaian kecil yang membungkus daging dadanya terpaksa menjadi tontonan indah pagi itu, kelakianku tak lagi jantan, mataku tak lagi binal, bibir, tangan dan kakiku seketika beku tapi tak sebeku salju.

"kalau kamu memang kakakku, dan ingin menolong adikmu, lakukakan tugasmu kak, aku pasrah, aku rela menghidangkan mahkota suci ini pada kakak, aku juga siap atas segala resiko yang kan terjadi, lakukan kak, aku mohon, lakukanlah..!" mataku panas, naluriku terbakar hangus, seperti sinar matahari yang tak henti-hentinya membakar tubuh bumi.

"Dik, apa kamu sudah gila? Tak sadarkah kamu, bahwa perbuatan ini sangat dimurkai Tuhan." Ucapku tegas seraya memalingkan wajahku dari tubuhnya.

"Apa..? Tuhan Kak…! Kemana Tuhan ketika abiku menerima pinangan laki-laki itu? Apa yang Tuhan perbuat ketika aku menangis bersujud tiap sepertiga malam? Dimana Tuhan ketika hatiku selalu dihantui ketakutan oleh pinangan laki-laki itu? Tuhan hanya diam kak, Ia tak berbuat apa-apa, sesibuk apa Tuhan sampai lupa malah lalai pada salah satu makhlukNya?" hentaknya padaku sambil tangannya meraih wajahku dan menenggelamkannya kedalam wajah manisnya.

"Astaghfirullah, apa yang telah kamu katakan Fatim? Tuhan sangat sayang sama kita, hanya saja…."
Belum sempat aku selesaikan kalimatku, dia telah menyumbat mulutku dengan bibirnya. Kunikmati sejenak, lalu kumuntahkan kembali bersamaan dengan rebahnya tubuhnya disampingku.

***

Siang telah menjelma malam, matahari telah lengser dari singgasananya, rembulan bersiap-siap menyalami alam, pepohonan yang selalu tegar berdiri mulai terlelap akan belaian angin malam, hanya suara jangkrik yang menjadi musik kami dibalik gubuk reot, di pematang sawah desa.

"Fatimah, bolehkah aku masih memanggilmu adik?" tanyaku dibawah pohon kelapa bersamaan dengan angin yang menyapa ilalang kering seraya bertasbih di sampingku,
pertanyaanku telah membuat duduknya tak nyaman, tak kulanjutkan ucapanku, kusimpan setengahnya di ranting langit.

"Kak Abdullah, kini kau bukan lagi kakakku, engkau adalah suamiku, engkau adalah imamku, engaku adalah rajaku, sedangkan aku, aku adalah budakmu, aku adalah selirmu, aku adalah tulang rusukmu yang harus kau tegakkan dengan cintamu, jiwa dan raga yang kumiliki hanya mengharap titah dari kak Abdullah" ucapnya lembut bak helaian rambut yang jatuh pelan-pelan dari kain sutera.

"Tapi aku sudah mencemarkan nama baikmu, akulah dalang dari semua ini, akulah yang telah memporak-porandakan pondok abimu, akulah yang telah menjadikan kepalamu berdarah akibat tumbukan batu orang sekampung, akulah yang menodaimu, akulah yang menghancurkan masa depanmu, akulah yang …"

"Sudah kak," jemari lentiknya menyalami bibirku yang berdarah
"aku tak ingin mendengar lagi ucapanmu seperti itu, baiknya kita cepat-cepat pergi dari tempat ini, sebelum masyarakat kampungku menemukan persembunyian kita, bawalah aku kemana saja kak, langkahku akan selalu menyertaimu kak, bimbing aku untuk menjadi permaisurimu, jadikan aku bidadari kecilmu, ajari aku cinta sucimu"

Anganku seakan melayang mendengarkan celoteh manisnya, ingin kuketok pintu Tuhan, menemuiNya lalu mengemis surgaNya sebagai rumah kita, agar kita bisa abadi dalam cinta yang kita bina.

Aku beranjak dari letihku, kuraih tangan istriku, lalu membawanya berlari mengejar harapan baru, meniti lembaran baru, mengumpulkan impian indah yang pernah menjadi mimpi remajaku, kendati aku tak pernah tahu kemana kakiku beranjak, yang terlihat di depanku hanyalah ruang gelap lagi senyap tanpa secercah sinar matahari.

Tak pernah terpikirkan olehku, semuanya akan berakhir tragis seperti ini, kadang hati kecilku marah ketika mengingat kembali akan tindakan keji itu, seorang ustadz memperkosa putri Kyainya, Hina..!


***

Dua pekan kemudian

Lantunan sholawat atas Nabi ditemani suara gemuruh rebana memenuhi ruangan masjid, menyeimbangi bunyi klakson mobil di luar sana, sebuah orkesta islam klasik yang tak kutahu asal muasalnya, kulirik ke samping kananku, seorang cameraman mencoba mengabadikan prosesi suci ini lewat jepretan kameranya, pembacaan berzanji beserta diba'pun telah usai, didepanku duduk dua orang Kyai sepuh yang menjadi waliku, kusungkemi mereka dengan penuh takzim, mataku memandangi seluruh ruangan masjid yang sesak oleh tamu-tamu tak kukenal, lalu berhenti pada sebuah dekor berhiaskan ukiran jawa kuno yang bertuliskan:

PROSESI PERNIKAHAN
M. ABDULLAH AR-RAHMAN ,LC BIN KH. MACHFUD DARWIS M.A
DENGAN
FATIMAH AZ-ZAHRO' BINTI KH. BADRI MUNIR

Kukira Tuhan sedang sibuk hingga tak peduli lagi pada makhluknya, tapi aku salah, Tuhan masih Mahapengasih, dengan sifat Mahapengasihnya, Dia mengirimkan malaikatnya melalui seorang Kyai yang menemukan kami berdua pingsan tak berdaya di tepi sungai sebuah pelosok pedesaan.

***

Di atas ranjang bertaburkan mawar merah dan melati, aromanya menyusup keseluruh relung dan sel-sel dalam tubuhku, disampingku dua gelas air mineral dengan es diatasnya memandangiku yang sedari tadi membelai rambut istriku, malam ini adalah malam paling bersejarah dalam hidupku, malam penuh bunga-bunga surga, diatas atap rumahku, sayap malaikat terbentang hingga beribu doa terjatuh dari kepakan sayapnya, bidadari surgapun cemburu pada setengah permainan cinta kami, disampingku seorang Fatimah Az-zahro' yang pernah menjadi adikku, tertidur kecil di atas dada bidangku.

"Kanda Abdullah…siapakah manusia yang paling Kanda cintai? Tanyanya membuka percakapan kami.
"ibuku"
"lalu" sahutnya,
"adik-adikku"
"terus" lanjutnya,
"anak-anakku"
"kemudian" tanyanya dengan mata agak melotot.
"sudah itu saja."

Wajahnya berubah seketika, matanya menatapku dalam-dalam, dengan sekuat tenaga bibirnya mencoba membantah jawabanku.

"Lalu dimana kau menempatkan posisiku dalam cintamu Kanda?" dia angkat kepalanya turun dari dadaku, sambil kukumpulkan doa-doa hinggga menjadi sebuah kata yang merebut derajat mantra,

"Dinda Fatimah ….
Bagiku, Dinda adalah nama cinta itu, yang tak perlu kuucapkan lewat sepatah dua patah puisipun, Dinda adalah cinta, dan cinta adalah Dinda. tanpa Dinda, cinta tak ada, tanpa cinta, Dindapun tak ada.
Tuhan sengaja menciptakan Dinda dari sepasang cinta, tak lain agar Dinda menyempurnakan makna cinta itu.

"Fatimah bidadariku…
Lama sudah kuberkelana mencari cinta, tak kutemukan apa-apa, hingga ketika aku mengenalmu, kau datang dengan alat pelebur dosa mensucikan aku dan tubuhku, lalu akupun menjelma cinta yang kau bawa.
kini kita adalah sepasang cinta yang saling melengkapi makna dan abjad-abjad misteri yang berkelabu dalam cinta.

"Dinda...adakah pertanyaan lain yang belum kau fahami tentang cintaku pada cintamu"?
"Ada" celetuknya dengan senyuman yang tiba-tiba berkembang dari bibir kecilnya.
"Apa?" ucapku mengejar.
"Kira-kira malam ini, kanda kuat berapa ronde melayani Dinda?
Darahku lebur, hancur berkeping-keping, hingga sekeping darinya telah masuk kedalam tubuhnya dan bermain nakal di atas sel-sel pembuluh darahnya.



*(kado pernikahan untuk sobat perempuanku yang sedang ditunggangi impian bapaknya)

This entry was posted on 18.37 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

1 komentar

nice. macam pram saja; bagaimana anda bertarung dengan primitifnya pikiran yang bersumber dari agama.

selamat berjuang dan menentang.