Otoritas sastra dakwah pada dewarsa kini kian menggiring banyak penganutnya, sebuah gerakan dakwah yang bergerak dibawah naungan forum-forum sastra. Narasi sastranya pun tak jauh-jauh dari sekitar selangkangan agama dan religi, tanpa adanya implikasi rill atas apa yang elukannya, hingga gerakan demikian bisa lebih condong pada gerakan-gerakan berbau politik yang mengatasnamakan sastra islami, kiranya analisa kritik yang dilontarkan Ahmad Sahal pada salah satu opininya di koran kompas yang mengatakan bahwa dalam eforia sosial-politik rupanya tidak sekadar tampil dalam berbagai keramaian demonstrasi, hiruk pikuk dialog "gosip" politik di layar tv, tetapi juga menyusup ke dalam kesenian kontemporer kita. Bahkan lebih jauh lagi, ada yang menganggap bahwa eforia ini ikut mempengaruhi cara kita mengapresiasi seni. Dan, perkembangan yang serba "politik" ini, rupanya sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. (Kompas, 2/6/2000), kata "kesenian" diatas tentunya lebih condong pada sastra yang mulai terjebak dalam lembah politik praktis.
Kalau pada tiga tahun lepas budayawan Indonesia Taufiq Isma'il pernah meresahkan sastra vulgaritas, mungkin hal demikian merupakan hal yang sangat wajar, melihat watak dan sifat sesepuh yang selalu khawatir akan kebobrokan generasi mendatang M. Faizi, "Hudan, Taufiq, dan Generasi Nol Buku" (JP 8/7/2007), meskipun Taufiq sendiri kurang objektif dalam penilaian sastra yang ia resahkan, ia lebih mendahulukan keresahannya sebagai orang tua dari pada inerpretasi secara mendalam terhadap sastra vulagar tersebut, maka tak heran jika Hudan Hidayat menyebutnya sebagai Nabi tanpa Wahyu.
Penulis novel kontroversial, Tuhan, Izinkan aku menjadi pelacur, M. Dahlan pernah mengatakan bahwa sebuah karya sastra yang vulgar ditulis bukan dengan maksud menjerumuskan pembacanya, akan tetapi agar pembaca lebih merasakan dan menyelam sendiri dalam lembah hitam dunia metropolitan atau menurut istilah Foucault, Lyotard, dan Derrida disebut postmodernisme dekonstruktif yang sangat berperan di dalam menciptakan ruang pembebasan tubuh dan hasrat. menawarkan logika emancipation of body (pembebasan tubuh) dan liberation of desire (pembebasan hasrat) dari berbagai kekangan dan pembatasannya, termasuk kekangan dan batasan dalam bersastra.
Sastra dakwah dan perannya
Pada zaman Rasulullah dulu, yang menjadi ciri khas bangsa arab adalah seni syairnya yang amat memukau, hingga turunlah ayat yang menerangkan larangan bersastra pada jalan syaitan, mungkin hal tersebutlah yang mendorong lembaga-lembaga sastra islami untuk menerbitkan sebuah karya sastra yang satu jalan dengan Al-qur'an, hingga kita bisa menikmati Ayat-ayat Cintanya Kang Abik, ....
Sebuah karya sastra yang mengajak pembacanya untuk mengenal islam versi mereka, maka tak heran jika didalamnya terdapat "fatwa-fatwa" kecil dari sang pengarang, semisal legitimasi poligami, cinta versi islam, bahkan kang Abikpun sempat membawa kita flash back sejenak pada zaman sahabat Rosul yang tertuang dalam mimpi Fachri.
Meskipun ada beberapa hal yang secara disengaja atau tidak kang Abik sendiri sudah masuk dalam sastra vulgaritas, seperti kisah Fachri pada malam pertamanya dengan Aisyah.
Forum sastra islami semisal FLP, KSI dan sebagainya sebenarnya mereka telah menjual agamanya dengan iming-iming sastra, dan ketika agama sudah menjadi nilai jual, maka esistensi sastra itu sendiri lambat-laun akan punah dengan sendirinya, padahal karya sastra dan kajian keislaman mempunyai perbedaaan yang amat mendasar, jika itu terjadi lalu apa bedanya karya sastra dengan karya keislamana?
Pembasan sastra tubuh
Tubuh perempuan seringkali dijadikan objek sastra kita dewasa ini, bahkan karya tersebut acapkali menyangkutpautkan daerah selangkangan atau daerah dibawah pusar, vulgaritas, seksualitas, dan erotisme kerap menjadi bumbu sedap pada karya sastra akhir-akhir ini.
Setelah samannya Ayu Utami berhasil merebut ranting tertinggi dalam ranah sastra indonesia, muncul Djenar Maesa Ayu lewat novel terbarunya jangan main-main dengan kelaminmu, Naning Pranoto juga tak mau ketinggalan, novel dengan judulnya yang sangat kontroversi, wajah sebuah vagina lagi-lagi mewarnai ranah kesusastraan di indonesia, yang kesemuanya oleh Taufiq Ismail dikategorikan dalam Sastra Madzhab Selangkangan (SMS) (Jawa Pos, 17 Juni 2007), beda lagi dengan Yasraf Amir Piliang yang berasumsi bahwa fenomena tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan kapitalisme (sebagai ideologi ekonomi) yang cenderung bergerak ke arah libidonomics, yaitu sistem ekonomi yang di dalamnya terjadi eksplorasi secara ekstrem segala potensi libido sebagai komoditi, dalam rangka meraih keuntungan maksimal (added value). Ideologi libidonomi kapitalisme memperlakukan tubuh dan segala potensi libidonya sebagai titik sentral dalam produksi dan reproduksi ekonomi.
Epilog
Sebenarnya antara sastra dakwah dan sastra vulgaritas, kesemuanya telah mempertahankan derajat sastra kita dalam ranah karya sastra dunia, hanya saja ketika kesemuanya tersebuh terbentur oleh kapitalisme materialistik atau barang dagangan, maka tak heran jika perlombaan yang mereka lakukakan tak berputar dari daerah pasar dan profesi.
Salah satu budayawan kondang asal Madura D. Zawawi Imron pernah mengatakan bahwa sastra bisa memberi hikmah bagi orang yang mau mencari hikmah, sastra bisa menjadi hiburan bagi orang yang mencari hiburan, dan akan melompong bagi orang yang tidak punya apresiasi sastra.
Lalu yang menjadi pertanyaan kita saat ini, relakah kita menjual kebebasan sastra dengan nilai tukar yang berupa materi yang bersifat relativisme?
This entry was posted
on 08.44
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.
0 komentar