Kupandangi langit kelam, berharap secercah cahaya rembulan datang, tak ketemukan apa-apa, hanya sinar kecil yang terpancar dari bintang kejora, ah entahlah, kejorakah itu atau bukan, toh aku tak pernah bersahabat dengan bintang, bagiku bintang tak ubahnya kutang, kecil menjengkelkan, sama-sama menyelimuti benda kenyal, mendung dan belahan, sama-sama bisa dilihat, tak mampu digenggam.
kuenyahkan kekecewaanku pada rembulan, lalu menyeruak keluar dari sangkar, melalui lorong kosong tanpa sinar, mulutku sesekali berdzikir lirih "jancok, anjing, keparat, biadab" dzikir yang pernah setan ajarkan pada pemeluknya, dan aku -mungkin- termasuk di dalamnya.
Penantianku pada buah hati langit telah pudar, dari tadi yang kudapat hanyalah sebungkus hampa yang terus memelukku erat-erat, setelah hampa menyelimuti tubuh kurusku, datanglah galau menjemputku, tanpa ketok pintu dulu dan tanpa salam sekedar basa-basi, galau telah berhasil mencuri tempat persemayaman di sela-sela hati dan jantung, ingin ku usir dia, tapi tiba-tiba dua bersaudara sepi dan sunyi merebut kekuatanku, hingga aku terlentang malang di pinggir danau tak bermuara, persis seperti bangkai ikan yang berlumur pasir dan air garam, begitupun aku –berlumur hampa, galau, serta sepi dan sunyi-.
Setangkai mawar datang pelang-pelan menembuskan aromanya keseluruh tubuh keringku, dia masuk melalui lubang-lubang di tubuhku, dari mata, hidung, mulut, telinga, pusar, dzakar, dan dubur busukku, aku heran, kok mau-maunya mawar menyelinap dalam dubur busukku, apa mungkin mawar ingin menguji aroma wanginya, atau mungkin saja sang mawar tengah mabuk kepayang pada duburku, ah, dubur, dubur, wajahmu selalu mengingatkan pada kekasihku, datang ketika sakit perut –atau lebih tepat dibawahnya sedikit- menerjang.
Aroma sang mawar tak sia-sia menerjang kebusukan dalam tubuhku, dengan warna merahnya, ia telah berhasil mengeluarkanku dari jeratan hampa, galau, sepi dan sunyi, aku bebas, lalu berlari ke ujung sungai, menertawai ikan-ikan yang hanya mampu berenang, mengejek perahu kecil yang hanya mampu berjalan dengan mesin buatan manusia bodoh, "kasihan sekali kalian, cuma bisa menjadi kucing-kucingan manusia berwajah setan."
"Auwww" duri menyalami kakiku, "dasar tak tahu adab sopan santun, harusnya izin dulu padaku", darahpun mengucur dari balik kulit tebal kakiku, dia terjatuh ketanah lalu menjelmalah tanah, tanah adalah tempat berakhirnya segala makhuk, dedaunan layu setelah terjatuh ke tanah, airpun kering setelah tersengat tanah, ikan-ikan dijemput sakarotul maut ketika menginjak tanah, begitpula manusia, ia akan rela menebas leher bapak-ibunya setelah bersengketa karena tanah –khusus yang ini adalah tanah warisan-.
Kini, kakiku berjalan tak seperti biasanya, langkahnya menginjit-injit tanah, entah apa karena marah pada tanah, atau sedang menahan perih atas salam dari sang duri.
Siang yang menjengkelkan telah berevolusi menjadi malam, senang sekali hatiku ketika malam menyambut, karena dengannya, aku bisa menyembunyikan kegelisahan hidup yang selalu menyelimuti diriku, sama seperti malam-malam biasanya, aku berlari kehalaman rumah, menantikan datangnya kekasih bintang, selama beberapa menit disana, rembulan, kekasih selingkuhanku tak kunjung tiba, apa dia telah menikah dengan bintang? hingga pula menjelma bintang? apa dia telah bertunangan dengan awan? hingga sinarnya redup oleh kabut sang awan? ah, tidak, semoga itu tidak terjadi padanya, aku sangat membutuhkannya.
"Hal yang paling membodohkan adalah menunggu" bisik nuraniku dalam-dalam, otak yang menerima pesan dari nurani langsung menyuruh kaki untuk mengamini firmannya, lalu aku berlari mengejar rembulan, terus kupaksakan mengejarnya, hingga sendi-sendi kakiku tak dapat menopang langkahku, lalu terjatuh pada sebuah jurang antah berantah, tubuh krempengku tertiup badai, kepakan sayapku telah terbentur pohon cemara besar, hingga kuasa nyaris sirna, dalam jurang tak berpenghuni itu, kutemukan daun-daun segar bertasbih pada Tuhannya, ragaku membisu tersumbat pada beberapa pertanyaan nurani, "sudahkah aku bertasbih seperti yang ditasbihkan daun-daun itu", isak air matanya berkata demikian, ia ayuhkan lagi kakinya menerobos semak-semak belukar, tapi sayang sepasang batu jantan dan betina tiba-tiba mengemis belas kasihan di tanah, secepat kilat aku menghindar darinya, hingga beberapa cibiranpun datang bergantian dari sepasang batu itu, "dasar manusia tak tahu terimakasih pada Tuhannya". Ah hanya cibiran batu tak berakal, rugi rasanya bila menyimpannya dalam akal.
Kuteruskan perjalananku meninggalkan daun-daun bertasbih dan bebatuan yang mencibir, kemudian pandanganku tertuju pada sebuah goa, dari mulutnya terdengar suara kelelawar sahut-sahutan, sesekali desahannya terdengar oleh bebatuan, aku masuk ke dalamnya, gelap gumpita menyambutku dengan bebarapa sesajean ala kadarnya, ada opor tai kelelawar, ada gulai bangkai kambing, ada juga gorengan tikus mati, suasana semakin lengkap ketika bidadari dengan gaun putih agak bersih mempersilahkanku untuk menikmati hidangan itu, aku duduk di dekatnya, sesekali melirik nakal pada dadanya, ia tuangkan segelas air berwarna merah yang aromanya sangat menyengat pori-pori hidungku, aku langsung meneguknya, berharap yang kuminum adalah arak buatan surga, ketika air itu sampai di kerongkongan tiba-tiba ia menghantam bibirku dengan bibir hitamnya, kunikmati sejenak lalu kumuntahkan kembali bersama rebahnya tubuhnya di sisiku, hasratku memuncak ke ubun-ubun, disusul lidahku yang sangat lincah menari-nari dalam mulutnya, tak puas dengan mulutnya, lidahku mencair ke dadanya, aku semakin buas bak harimau memangsa rusa, hingga tak kurasa kulit yang menutupi tubuhnya telah mengelupas, kini tak ada penutup lagi di tubuhnya, hingga hati, jantung, paru-paru, tulang rusuk, dan darah yang mengalir bisa kuraba dengan sesuka hati.
Ah… inikah bidadari yang disiapkan Tuhan dalam surganya, saking beningnya sampai-sampai seisi dada dan perutnya telah terkelupas oleh nafsu binatangku, aku muak, ingin muntah pula, akhirnya aku berlari sekencang kuda jantan mengejar betinanya, mataku masih menoleh ke perbaringan bidadari bening itu, wajahnya merah, pertanda sang bidadari sedang marah karena nafsunya belum terselesaikan dengan nikmat, ia ambil sepatu kaca di kakinya dan melemparkannya padaku yang berlari "dasar manusia tak tahu terimakasih pada Tuhannya,"
Alah… bidadari tahu apa tentang terimakasih, toh ia hanya manggut-manggut pada titah Tuhannya, beda dengan manusia, Tuhanpun masih dikritisi.
Aku terus berlari meski makhluk-makhluk disampingku berteriak kasar "dasar manusia tak tahu terimakasih pada Tuhannya".
"Tahu apa makhluk itu tentang manusia, apa mereka tidak sadar, bahwasanya Tuhan telah memberikan gelar "sebaik-baiknya makhluk" pada manusia." ucapku dalam hati.
Pelarianku tak sia-sia, di depanku telah memancar sinar terang, dalam beberapa langkah saja, kakiku telah menikmati cahaya terang itu, aku masuk kedalamnya, mataku menikmati bangunan-bangunan tinggi menjulang, sinar matahari terkalahkan oleh lampu-lampu yang dijejer di pinggir sungai, jalanannyapun tampak indah dengan dengan batu-batu putih serupai mutiara, di tepi sungai, daun hijau sedang menggantungkan dirinya pada ranting pepohonan, aku terkejut ketika mataku sampai pada batang pohon itu, sepasang makhluk tanpa sehelai pakaian sedang asyik bercumbu dibawah pohon tersebut, keterkejutanku tak berhenti disitu, setelah mataku membentur perempuan dan laki-laki berjalan tanpa busana, aku semakin penasaran, lalu kuselidiki semua penghuni tempat itu, dan semuanya beraktivitas tanpa pakaian sehelaipun, ohhh tempat apakah ini? Planet barukah? Surgakah? Nerakakah? atau apa?
Pertanyaan itu terus mengusik pikiranku, aku tak sabar, kepalaku hendak meletus melihat kejadian aneh itu, akhirnya kuberanikan bertanya pada salah satu dari mereka,
"Maaf Mbak, tempat apakah ini?" tanyaku datar pada perempuan tinggi bekulit putih, dengan tidak melupakan lirikanku pada dadanya kebawah.
Dia tidak merespon pertanyaanku, hanya tangan halusnya yang bergerak merogoh tas kecil di pundaknya seraya menyodorkan beberapa lembar kertas yang bergambar patung seseorang, lengkap dengan angka-angkanya, aku tak dapat membacanya, karena otakku sedang ber-konsentrasi pada tubuhnya yang mulai meninggalkanku dan pertanyaanku.
Kulirik pada kertas pemberiannya, hanya simbol aneh disana "$, €, £, ¥, Rp " dan dipinggir simbol itu, terpampang angka 1, 10, dan 100.
"Ah apa lagi ini" otakku semakin memacu untuk berpikir cemerlang, tapi selalu saja terbentur pada perempuan-perempuan yang hilir-mudik berjalan di depanku,
"Sudahlah, aku yakin, tempat ini bukan surga melainkan neraka, karena sepengetahuanku, perempuan surga tak ada yang telanjang, semuanya mengenakan gaun-gaun cantik" seru otak kiriku .
"tapi kalau ini neraka, mengapa tak ada siksaan dari Tuhan, katanya neraka itu tempat dihisabnya makhlukNya, wah kalau begitu, aku ingin masuk neraka saja, agar lebih bebas menikmati makhlukNya" otak kanan tiba-tiba menghardik kesimpulan dari otak kiri.
jiwaku semakin kalang-kabut dengan tempat itu, lalu kulanjutkan perjalananku, sesekali memandangi keindahan makhlukNya, baru tiga langkah, tiba-tiba ledakan besar menghantam seisi tempat tadi, bangunan-bangunan tinggi runtuh, pepohonan layu seketika, air sungai yang mengalir tenang, kini telah berubah menjadi ombak besar yang menghantam tempat itu, aku berlari mengikuti mereka yang ketakutan, dalam pelarianku pikiranku menemukan jawaban atas ledakan tadi,
"Kiamat telah tiba" bentaknya kasar padaku, aku tercengang, benarkah kiamat telah tiba? Cepat kupalingkan tubuhku menghadap ke langit, "akhhhhhh…tunggu kiamat, aku belum bertobat, tunggu kiamat aku belum berdzikir, tunggu kiamat aku belum bertahajjud"
otakku langsung komat-kamit melantunkan istighfar, takbir, tasbih, tahmid pada Tuhan, beda dengan mulutku yang malah berdzikir setan "Jancok, anjing, keparat biadab", disusul jiwaku yang tenga asyik bernyanyi merdu "Kiamat jancok, kiamat anjing, kiamat keparat, kiamat biadab"
Nyawaku terbang sudah ke langit, ragaku lebur sudah tertimpa batu besar, tapi jiwaku tak henti-hentinya mendayu merdu "Kiamat keparat, Kiamat biadab"
This entry was posted
on 18.34
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.
0 komentar