Kapan kita menikah?
Kelak kala rembulan sempurna di cangkangnya, kita akan menari bersama orkestra malam, syair sahdu para sufi kan menjadi lantunan mabuk diantara arak-arak surga yang mengintip sinis percintaan kita, hingga ketika rembulan telah lelap pada pangkuan gelap, kan kupersembahkan ritual rindu yang sejak dulu kaku di ranting bisu.
Dan malam itu, tak kan ada lagi lagu pilu yang tak layu, semuanya telah menjelma nyanyian perayu nan syahdu.
Diam-diam kau tlah bermain di dadaku, bak seorang bayi yang haus susu ibunya, sesekali kupandangi wajahmu yang basah oleh embun yang menetes dari kelopak mawar, hingga bibirmu yang delima tak pernah bisa menyelam dalam tangkainya, lantas matamu, oh...dimana kau simpan ketajamannya, sudah tumpulkah ia oleh kekanak-kanakanmu?
Asa yang kau genggam, gelora yang mendekam, cinta yang dulu terpendam, malam ini telah pulang pada pangkuan awan, yang dibawanya ke dasar lautan hingga melahirkan anak-anak hujan, aku bertanya padamu, adakah malam ini hujan membawa kedinginan?
kau diam, kakimu menerjang, tubuhmu karam, tenggelam!
Kapan kita punya anak?
Benih yang dulu kita tanam di taman mawar, hendak keluar menyiumi kumbang, meski tak kulihat, tapi aku mendengar sebuah tangisan yang rindu akan pelukan dan belaian, kau harus tegar Sayang, kataku selimuti kegalauan.
Pada gunung yang katanya tegak, pada lautan yang katanya curam, pada karang yang katanya kasar, kau berteriak lantang, oh...adakah yang lebih tegar dari seorang perempuan?
Mereka hanya diam, ketika lanskap mawar yang mengeram dalam tubuhmu tiba-tiba terkapar di sisi bantal.
Selamat datang Mawar, disini, di gubuk sunyi.
Jangan tinggalkan aku Sayang!
"kutunggu kau di dunia lain, kita tuntaskan dongeng kehidupan"
Karena kita hanyalah usia, sedangkan cinta tak mengenal usia
This entry was posted
on 12.50
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.
0 komentar