Malam ini, rinduku nyangkut di bulu matamu, maukah kau berkedip sekali saja, agar ia jatuh menyalami pipimu? Oh tidak, pipimu terlalu licin untuk sekedar bertengger, lihatlah ia telah tergelincir jatuh di lehermu, maukah kau usap lehermu agar rinduku menggelinding ke dadamu? "Tidak, aku ingin rindumu selalu disana, biar kau tahu, pernahkah aku bernafas tanpa rindumu" Baiklah, akan aku ikatkan ia disana, agar mengalir mengikuti desiran darah ke setiap nadimu, sampai-sampai kau lupa, bahwa kini darahmu sudah tak lagi merah, lalu rindu itu akan sampai pada tempat dimana jantungmu berdetak, dan disanalah ia akan menjadi jantung keduamu. "Tidak, aku ingin rindumu mendekap di segumpal darahku" Baiklah, akan aku suruh rinduku memeluk hatimu, biar hatimu bisa terlelap di dada rinduku, dan sekarang rasakanlah, rinduku dan hatimu telah saling tindih-menindih, entah apa yang ia lakukan terhadap hatimu, sepertinya aku melihat, hatimu telah melahirkan cabang hati. "Tidak, aku tak pernah mengenal senggama dalam cinta" Memang benar, tapi saat rinduku memeluk hatimu malam tadi, kau telah kehilangan arah, lalu rindulah yang membawamu hingga pasrah, bukankah itu yang kau pinta dari rindu? Dan kini, ia telah mabuk setelah pesta semalam, sedikit demi sedikit tubuhnya mencair, sesekali mencari jalan keluar lewat pusarmu, mulutmu, hidungmu, telingamu, dan matamu, Oh lihat, kini rinduku telah kembali nyangkut di bulu matamu. "Tidak, itu bulu kelaminku"
Tuhan Dosa yanng kusulam bersama raga dan jiwa, telah menajdi tabir penghalang pada jendela cinta, rembulan yang biasa bertengger menemani malam, sinarnya telah hilang sejengkal, menenggelamkan perahu rindu, yang biasa kuberlabuh ke rumahmu, bahkan, ruang rindu tempat semedi suciku, telah hangus terbakar oleh dosa dan kegelapan. Maukah kau nyalakan lagi rembulan itu Tuhan? Agar jejak perjalanan masa silam, tak kian pudar, agar legam di hatiku, bisa menemukan kembali melati putih pemberianmu, kalau kau tak mau, cukuplah kau nyalakan lentera malam, supaya pengap bisa istirah sejenak. Aku sadar, aku hanya pejalan malam, yang seringkali terjatuh pada jurang kehampaan, sedikit bekal yang kugenggam selalu habis dimakan siang, hingga saat malam datang, aku lupa pada jalan pulang, hanya kunang-kunang yang mengantarku menuju makam. Tidak, aku tak ingin melukis nama di batu nisan, perjalananku masih panjang, menara di istanamu belum samar kupandang, dan wajahmu tak jua kutemukan, aku masih ingin terus berjalan, sambil membunuh bidadarimu yang membuat rinduku cemburu. Tolong, enyahkan bidadarimu dari hadapanku Tuhan, aku tak pernah bermimpi menjamah bidadari, karena yang kucari, hanyalah cintamu yang hakiki, maukah? Puisi Kau ingat malam itu, tarian aksaramumu di gubuk sunyi, telah memabukkan malam-malamku, tubuhmu yang melati, sayapmu yang kenari, dan jiwamu yang suci, telah mampu memacu degup jantungku lebih pcu, ya, tarianmu telah membuatku lupa pada datangnya siang, bahkan saat mentari melahirkan pelangi, kau tetep menari, sesekali merapatkan lehermu di bibirku "kita lupakan Tuhan sejenak Sayang" ucapmu merayu. Aku yang kala itu masih pemalu, hanya setia menunggu jemari lentikmu lebih berani menyelami samudera imajiku, sambil menikmati gerak gemulai tubuhmu yang makin nakal, lalu kau tuangkan secawan arak kata-kata, sesekali menjilati bibirku yang masih kelu nan mulai layu, tapi kau tak tinggal diam, kau angkat dadamu tepat di belahan mataku, mencairkan tubuhku yang kaku, dan saat itu, kita sedang melayang mengunjungi surga aksara... Sudah Klimaks-kah Sayang? Apa yang kau maksud klimaks? di dadamu, tak pernah sekalipun kurenggut kepuasan, di lehermu, tak pernah kujumpai kecukupan, selalu kurang, dan kurang yang menjadi barometer kepuasanku, seperti embun yang tak pernah bosan mencumbui dedaunan, seperti puisi yang tak pernah lepas dari kata dan aksara, itukah definisi asmara antara kata dan jiwa? Sunyi Tiap lima kali dalam sehari, jiwa dan ragaku selalu berkunjung ke lembah sunyi, ada kedamaian yang selalu menyelinap kedalam rongga kalbuku, ada aroma surgawi yang sesekali membasahi urat nadi, seakan aku menjadi satu-satunya selir diantara bidadari yang tengah bersemedi di taman ilahi, ya, disana, aku selalu menjadi putri kecil yang menari mengitari altar suci; Cinta. Lalu cinta yang kuraup disana, telah meleburkanku menjadi satu kesatuan bersama Tuhan dan puisi, disana, di mata sunyi, dan sunyilah yang menawarkan ruang semedi paling suci, membawaku menemukan kembali esensi dari eksistensi diri, ya...aku dapatkan misteri yang terselubung diantara Tuhan, puisi, dan Sunyi, "Aku telah menjadi manusia hakiki". Tapi kini, sunyi telah pergi, menyisakan sebongkah rindu yang ia pahat di sela-sela jantung dan hatiku, bahkan tiap kali jantungku berdegup, sunyilah yang memompa darah ke seluruh urat nadiku, dan kudengar ada satu mantra yang ia tasbihkan disana "bisakah kau hidup tanpa nafasku?" "Kemarilah, kita tuntaskan persenggaman kita, disini, di taman imaji suci, sambil melukis wajah Tuhan di tubuh puisi"
Sayang, apa kau hafal lagu indonesia raya? Tidak sayang, aku lebih suka menghafalkan jalan raya, tempat dimana kita lebih merdeka Dimana kau simpan matamu, saat anak kecil penjual koran tengah berdiri dekat sedanmu, memegangi perutnya yang kosong, menyeka keringatnya dengan kemeja bolong, dan satu tetes keringatnya telah membasahi koran di tangannya, tepat pada deadline pertama; Upacara Kemerdekaan. Lihatlah bibirnya, pernahkah ia dusta? lihatlah matanya, adakah ia berpura? Dimana kau gantung telingamu, saat tangis para janda menggempa di balik meja kerja, menggendongi bayinya yang lahir tak sempurna, kakinya harus diamputasi, konon katanya, saat kecil dulu, ia tak sempat diimunisasi, karena sang ibu tak rela harus tidak makan lima hari. Adakah kau dengar jerit kesakitan disana? atau jangan-jangan, telingamu sudah tersumbat dolar? Apa kau pernah punya cita-cita menjadi seorang pelacur? yang rela menjual harga diri demi sebungkus nasi, yang menangis di balik jeruji besi, saat semalam diciduk polisi. Tidak, mereka tidak ingin menjadi pelacur, hanya saja harga BBM terus melambung. Sayang, apa kau tahu pancasila? Yang kutahu, hanya sila ke-tiga saja, Sayang kemanusiaan adalah memanusiakan manusia, bukan memanusiakan harta, bukan memanusiakan keluarga, bukan memanusiakan agama, bukan memanusiakan ideologi, bukan memanusiakan diri sendiri. Tidak perlu memperaktekkan poligami, untuk sekedar berlaku adil, cukup; santunilah fakir miskin, sayangilah anak yatim, berhentilah kikir. Sayang, apa kau pernah dengar sumpah pemuda? Tidak sayang, aku lebih sering mendengar sumpah penguasa Kami para penguasa bangsa indonesia, mengaku bertumpah darah satu, darah feodalisme, nepotisme, individualisme, apatisme, dan me-me yang lainnya. Kami para penguasa Bangsa Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa dedemit dan gunduruwo. Kami para penguasa bangsa Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa kera, anjing, babi, lintah dan semua jenis bahasa binatang. Lantas, apa kau bukan orang Indonesia Sayang? Tidak, Aku hanyalah mainan orang Indonesia... Kemarilah, kubisikkan kau sesuatu "MER(d)EKA!"