Lama sudah tak kujamah tubuhmu...  

Diposting oleh defrin

Tuhan

Dosa yanng kusulam bersama raga dan jiwa, telah menajdi tabir penghalang pada jendela cinta, rembulan yang biasa bertengger menemani malam, sinarnya telah hilang sejengkal, menenggelamkan perahu rindu, yang biasa kuberlabuh ke rumahmu, bahkan, ruang rindu tempat semedi suciku, telah hangus terbakar oleh dosa dan kegelapan.

Maukah kau nyalakan lagi rembulan itu Tuhan?

Agar jejak perjalanan masa silam, tak kian pudar, agar legam di hatiku, bisa menemukan kembali melati putih pemberianmu, kalau kau tak mau, cukuplah kau nyalakan lentera malam, supaya pengap bisa istirah sejenak.

Aku sadar, aku hanya pejalan malam, yang seringkali terjatuh pada jurang kehampaan, sedikit bekal yang kugenggam selalu habis dimakan siang, hingga saat malam datang, aku lupa pada jalan pulang, hanya kunang-kunang yang mengantarku menuju makam.

Tidak, aku tak ingin melukis nama di batu nisan, perjalananku masih panjang, menara di istanamu belum samar kupandang, dan wajahmu tak jua kutemukan, aku masih ingin terus berjalan, sambil membunuh bidadarimu yang membuat rinduku cemburu.

Tolong, enyahkan bidadarimu dari hadapanku Tuhan, aku tak pernah bermimpi menjamah bidadari, karena yang kucari, hanyalah cintamu yang hakiki, maukah?

Puisi

Kau ingat malam itu, tarian aksaramumu di gubuk sunyi, telah memabukkan malam-malamku, tubuhmu yang melati, sayapmu yang kenari, dan jiwamu yang suci, telah mampu memacu degup jantungku lebih pcu, ya, tarianmu telah membuatku lupa pada datangnya siang, bahkan saat mentari melahirkan pelangi, kau tetep menari, sesekali merapatkan lehermu di bibirku "kita lupakan Tuhan sejenak Sayang" ucapmu merayu.

Aku yang kala itu masih pemalu, hanya setia menunggu jemari lentikmu lebih berani menyelami samudera imajiku, sambil menikmati gerak gemulai tubuhmu yang makin nakal, lalu kau tuangkan secawan arak kata-kata, sesekali menjilati bibirku yang masih kelu nan mulai layu, tapi kau tak tinggal diam, kau angkat dadamu tepat di belahan mataku, mencairkan tubuhku yang kaku, dan saat itu, kita sedang melayang mengunjungi surga aksara...

Sudah Klimaks-kah Sayang?

Apa yang kau maksud klimaks? di dadamu, tak pernah sekalipun kurenggut kepuasan, di lehermu, tak pernah kujumpai kecukupan, selalu kurang, dan kurang yang menjadi barometer kepuasanku, seperti embun yang tak pernah bosan mencumbui dedaunan, seperti puisi yang tak pernah lepas dari kata dan aksara, itukah definisi asmara antara kata dan jiwa?

Sunyi

Tiap lima kali dalam sehari, jiwa dan ragaku selalu berkunjung ke lembah sunyi, ada kedamaian yang selalu menyelinap kedalam rongga kalbuku, ada aroma surgawi yang sesekali membasahi urat nadi, seakan aku menjadi satu-satunya selir diantara bidadari yang tengah bersemedi di taman ilahi, ya, disana, aku selalu menjadi putri kecil yang menari mengitari altar suci; Cinta.

Lalu cinta yang kuraup disana, telah meleburkanku menjadi satu kesatuan bersama Tuhan dan puisi, disana, di mata sunyi, dan sunyilah yang menawarkan ruang semedi paling suci, membawaku menemukan kembali esensi dari eksistensi diri, ya...aku dapatkan misteri yang terselubung diantara Tuhan, puisi, dan Sunyi, "Aku telah menjadi manusia hakiki".

Tapi kini, sunyi telah pergi, menyisakan sebongkah rindu yang ia pahat di sela-sela jantung dan hatiku, bahkan tiap kali jantungku berdegup, sunyilah yang memompa darah ke seluruh urat nadiku, dan kudengar ada satu mantra yang ia tasbihkan disana "bisakah kau hidup tanpa nafasku?"

"Kemarilah, kita tuntaskan persenggaman kita, disini, di taman imaji suci, sambil melukis wajah Tuhan di tubuh puisi"

This entry was posted on 09.40 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar