Ingin aku beranjak pergi mematahkan dimensi waktu, selimuti hati sunyi yang terkekang permainan hidup, karena hidup itu sendiri hanya berotasi pada satu poros; takdir.
Ingin sekali aku melangkah melawan arah mata angin, menyisir hijaunya dedaunan yang basah oleh ludah-ludah kebohongan, dan kembali lagi berselayang dengan seekor camar yang bersiul merdu pinggir pematang, hingga tak kudengar lagi seruling sunyi yang melenakan duri mengetuk hati.
Tapi, usiaku hampir usai, malamku hampir selesai, sedang mimpiku masih amat panjang, lantas haruskah aku menghampiri tuhan dengan tubuh telanjang?
Silam, telah aku rancang sketsa bintang yang kugantung di langit pikiran, sambil menuai harapan, semoga ilalang bersemi menghiasi kemarau, tapi kini, ilalang telag usang, tangkainya terkulai sehabis diintimi setan, tadi malam.
Hinggai akhirnya, dua-dua renta menungguku di serambi senja, menghitung dosa yang ia tabung dua-dua.
This entry was posted
on 15.03
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.
0 komentar