RINDU, ya, sebenarnya ingin sekali aku menulis rindu, dimana saja, di keningmu, di matamu, di kupingmu, di pundakmu, di dadamu, di pusarmu, di pinggulmu, di selangkanganmu, di pahamu, di betismu, di kakimu, bahkan di kuku kaki dan tanganmu, tapi mengapa hukum gravitasi ala Newton maupun gaya Einstein tak pernah tercipta pada partikel-partikel rinduku akan sekujur tubuhmu? malah, yang selalu timbul hukum magnet yang berlainan kutub; rinduku, di kutub positif, dan tubuhmu, di kutub negatif.
Rindu itu, kini telah kembali ke pangkuan ibunya dengan membawa sebatang kayu, konon, katanya, ia ingin membakar tubuhnya sendiri, agar dosa-dosanya di masa silam, bisa ia tebus dengan kematian dan pengorbanan, bukankah itu yang dibilang cinta platonis? katanya memukau.
Sejak kecil, rindu memang demikian, cita-citanya ingin selalu mencapai puncak kesucian dalam setiap hubungan; percintaan, persahabatan, permusuhan, bahkan pembunuhan.
Kisah Kahlil Ghibranlah yang menjadi kitab sucinya, seorang sastrawan Lebanon yang menjalin hubungan cintanya dengan perempuan Mesir melalui komunikasi jiwa dan jiwa, hati dan hati, karena baginya, keduanya merupakan kejujuran mutlak, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah, sedangkan raga, tak ubahnya gesekan alam, bukankah itu yang disebut cinta platonis? katanya membakar.
This entry was posted
on 15.54
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.
0 komentar