Mimpi adalah jembatan kesuksesan
Ada sebuah ungkapan menarik dari Francis Ford Coppola, seorang sutradara film kelahiran Amerika serikat, yang popular dengan filmnya The Godfather, ia mengatakan, “Mimpi manusia sangatlah urgen bagi dirinya, lebih-lebih ketika ia berupaya untuk merealisasikan mimpi tersebut agar menjadi nyata, kemajuan kehidupan saat ini merupakan hasil impian dari generasi pendahulu kita”
Signifikansi mimpi merupakan jembatan bagi kita untuk memperoleh kesuksesan, kebahagiaan, dan hasil yang memuaskan, tanpa impian itu, kita seakan-akan tak mempunyai mesin penggerak untuk selalu menggenjot usaha dan upaya kita agar mengejarnya.
Di sekeliling kita, banyak sekali kita jumpai orang-orang yang tidak memiliki impian, dan problem seperti itulah yang menyebabkannya selalu pesemis tinggi atau minder terhadap hal-hal yang ditawarkan oleh kehidupan.
Padahal kalau kita bisa berfikir dengan rasio yang cermat, kekuatan mimpi yang besar/berapi-api, akan menjadikan kita selalu terdorong untuk merealisasikan mimpi itu, disitulah letak kekuatan mimpi.
Kita lihat, orang-orang yang berhasil mencatat nama dalam sejarah, rata-rata mampu mengaplikasikan impian mereka, salah satu contoh, Bob William mampu berlari dengan menggunakan kedua tangannya, ia tidak merasakan sakit di tangannya. Sebab impian yang ia mimpikan telah bersatu dalam jiwa dan raganya.
The power of a dream
Menukil perkataan George Lucas, “Impian sangatlah penting, kau tidak akan dapat melakukan apa-apa sebelum kau membayangkannya/memimpikannya.”
Dari perkataan diatas, kita bisa menarik benang merah, bahwa kekuatan mimpi mampu membakar jiwa-jiwa pejuang kita, Jadi jangan takut memimpikan sesuatu. Jadikan impian tersebut sebagai nafas kehidupan. Sebab impian yang kuat justru menjadikan perjuangan yang berat saat menggapainya sebagai sarana latihan mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang lain, misalnya kekuatan emosi, fisik, maupun rohani.
Ada sebuah eksprimen yang pernah dilakukan oleh sekelompok orang, mereka memilih beberapa orang di universitasnya untuk hasil percobaan tersebut, Para mahasiswa itu dihubungkan dengan mesin yang dapat mengatakan dengan persis kapan mereka tidur dan kapan mereka mulai bermimpi. Ketika mahasiswa itu mulai bermimpi, para dokter akan membangunkan mereka, kemudian mengizinkan mereka tidur kembali. Tiap kali mesin itu menunjukkan tanda-tanda mahasiswa tertidur dan mulai bermimpi, para dokter siap membangunkan mereka kembali.
Sesudah satu malam dengan perlakuan ini, beberapa mahasiswa menjadi gugup, resah, dan gelisah. Di malam kedua, banyak mahasiswa menjadi mudah marah dan jengkel, walaupun kenyataannya mereka tidur lumayan lama. Pada akhir dari tiga malam mendapatkan jumlah tidur yang sama—tetapi tanpa mimpi, para peneliti memutuskan untuk mengakhiri eksperimen karena sebagian mahasiswa mulai mengalami masalah psikologis.
Dua puluh empat jam kemudian sesudah menghentikan eksperimen, sebagian besar mahasiswa kembali normal. Dan, dalam satu minggu mereka semua telah kembali normal seratus persen. Apa artinya? Eksperimen tersebut membuktikan sesuatu secara pasti—bahwa ketika Anda tidur, Anda pasti bermimpi. Dan, tidur tanpa mimpi mengakibatkan masalah psikologis.
Antara tidur dan terjaga memiliki benang merah yang sangat kuat. Ketika Anda tidur, Anda perlu bermimpi. Namun, satu hal lagi yang tak kalah penting, ketika Anda terjaga Anda juga perlu bermimpi. Sebenarnya, satu-satunya cara Anda dapat mencegah mimpi Anda menjadi mimpi buruk adalah dengan terjaga serta pergi bekerja dan mewujudkannya menjadi kenyataan
Raihlah Bintangmu
Masih ingat dengan sebuah lagu yang berjudul The Power Of Dream, yang dilantunkan oleh Celine Dion, berkisah tentang sebuah kekuatan dalam mimpi, bahwa di dunia ini tak ada satu halpun yang tidak mungkin (nothing possible), lanjutnya lagi, derajat, martabat, ataupun profesi yang seringkali menjerat kebebasan tingkah laku kita, adalah sebuah boomerang yang kalau kita ikuti, kita akan terperangkap kedalam lembah penyesalan, kesengsaraan, dan kegagalan yang amat miris.
Berikut, saya kutip penggalan bait terakhir dari lagu tersebut:
The power of the dream / The faith in things unseen / The courage to embrace your fear / No matter where you are / To reach for your own star / To realize the power of the dream.
Maka kesimpulan saya, raihlah mimpimu, raihlah bintang yang terhias indah di langit, raihlah kesuksesan yang menggantung dalam angan-angan anda.
Kunci kebahagiaan adalah mempunyai impian. Sedangkan kunci kesuksesan itu sendiri adalah mewujudkan impian.
Wacana Feminisme telah melanglang-buana sejak pertengahan abad ke-19, bermula dari Negara-negara Eropa pada masa era pencerahan, salah satu tokoh penggagas dari gerakan tersebut adalah Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet, dua aktivis perempuan kelahiran Belanda ini tak ada hentinya menyerukan wacana-wacana untuk pembebasan kaum perempuan, itu di barat.
Di Asia, tepatnya di Jepang, kita mengenal nama Michiko sebagai tokoh pergerakan kaum perempuan, kemudian Fatimma Mernissi, perempuan kelahiran Maroko ini, juga tidak lepas dari gelar tokoh feminisme kala itu, di Malaysia, kita mengenal nama Amina Wadud Muhsin, dan di Indonesia, pelopor pertama gerakan feminisme adalah Raden Ajeng Kartini, perempuan kelahiran Jepara Jawa-Tengah ini, selalau gigih memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan pada masanya, yang mana menurut beliau dalam bukunya yang berjudul "Habis gelap terbitlah terang" menceritakan tentang kondisi perempuan jawa kala itu, yang menurutnya hak-haknya selalu direnggut oleh kaum adam, martabatnya selalu terkukung oleh adat, sebagai contoh, tak ada kebebasan bagi kaum perempuan untuk menempuh pendidikan formal -sekolah-, harus rela dinikahkan dengan lelaki yang tak ia kenali, ataupun harus rela dipoligami/dimadu, bagi perempuan yang lahir pada tanggal 21 April 1879 ini, kemajuan suatu bangsa akan terlihat jelas, ketika hak dan martabat perempuan disejajarkan dengan laki-laki.
Pada bangsa Arab, khususnya di Mesir, Qasim Amin adalah salah satu tokoh feminisme pertama, ialah yang melahirkan generasi-genarasi setelahnya, semisal May Ziyadah, Huda Sya’rawi, Zaenab Fawwaz, dan Nawwal Sa’dawi, berkat ide-ide yang dilontarkannya ia mampu merubah nasib perempuan Mesir yang selalu terhempit oleh kepentingan kaum adam, hingga tak heran jika orang-orang menyandanginya dengan gelar "Bapak Feminisme Islam".
Qasim Amin, lahir di sebuah kota besar Alexandria-Mesir, dari ayahnya yang seorang ayah yang berasal dari Turki Utsmani, dan ibu berdarah Mesir asli, ia lahir pada awal bulan Desember tahun 1863 M, sejak keci, Qasim Amin nampak tekun dan rajin dalam mempelajari ilmu-ilmu ke-islaman khusunya, sekolah dasarnya (SD) ia selesaikan di Alexandria, menyusul ayah dan ibunya pindah ke kairo.
Pada tahun 1881, umurnya telah menginjak angka 20, ia menyelesaikan studinya di sebuah universitas di Negerinya Mesir, pada fakultas hukum dan administrasi, di sanalah ia kenal dengan Jamaluddin Al-afghani, yang diusir dari negerinya, setelah perkenalannya dengan Al-afghani, pikirannya telah banyak menyerap ide-ide Al-afghani.
Petualangannya di Prancis
Gelar licence (LC) yang ia sandang mampu menjadikan dirinya sebagai pengacara di sebuah kantor milik Musthafa Fahmi, seorang pengacara handal pada waktu itu, yang memang sudah memiliki hubungan akrab dengan orang tua Qasim, lewat peran pengacara itulah, akhirnya Qasim Amin bisa melanjutkan jenjang studinya di Prancis.
Awal mula di Perancis, ia sempat kaku dan minder melihat kehidupan dan kemajuan Prancis pada saat itu, ia berusaha untuk bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis. Namun karena beliau memiliki kepribadiannya yang mencirikan kepribadian bangsa Timur; pemalu dan tertutup, dan terdapat perbedaan yang sangat jauh antara budaya Perancis dan budaya Mesir, maka ia tidak bisa bergaul dan berinteraksi dengan bebas dan luas.
Namun, akhirnya ia sadar bahwa seseorang harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan sebagaimana lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di kampus, Qasim Amien juga memiliki teman perempuan yang istimewa. Dari kebersamaannya dengan gadis Perancis tadi, disinyalir mulai tumbuh benih-benih kepeduliannya terhadap kaum hawa, yang nantinya membidani perjuangannya di Mesir yang penuh dengan bentuk interaksi sosial yang diskriminatif.
Dan perempuan tadi telah menjadi sumber inspirasi dan penggugah kesadaran bahwa kaum perempuan sebetulnya memiliki kemampuan yang selama ini “tidak pernah difungsikan”.
Sekembalinya dari Perancis
Pada tahun 1885, setalah menempuh jenjang pendidikannya di Perancis selama kurang lebih 4 tahun, ia kembali ke tanah airnya, membawa sejuta perubahan dan pembaharuan, untuk pertama kalinya, ia diangkat sebagai Hakim, setelah beberapa tahun menjabat sebagai hakim, dengan kinejranya yang sangat memukau, akhirnya ia dipilih menjadi walikota di Bani Suef, pada waktu itulah, ide-ide dan pemikirannya yang ia emban dari Perancis mulai terealisasikan sebagai bentuk perbaikan di daerahnya, khususnya perbaikan tentang penyamaan dan kesetaraan kaum perempuan (emansipasi wanita).
Pada tahun 1894, ia menikah dengan seorang gadis keturunan Turki, Zaenab Amin Taufiq, dan ketika itu, keaktifannya dalam dunia tulis menulis mulai terlihat, setelah beberapa tahun, ia berhasil menerbitkan sebuah buku yang berjudul " Les Egyptiens/ Al-Masyriyyun", sebuah buku berbahasa Perancis, yang ditulis untuk membantah karya tokoh dari Perancis, Duc D'harcouri, dalam buku itu, Qasim Amin membantah kritikan yang dilontarkan oleh Duc D'harcouri tentang sebab-sebab kemunduran dan keterbelakangan perempuan Mesir, yang menurutnya berasal dari agama Islam.
Pada tahun berikutnya, sekitar 1899, buku yang berjudul Tahrirul Mar'ah (Emansipasi Wanita) berhasil diterbitkan, sebuah buku yang sangat monumental, yang tak ayal, buku tersebut telah melahirkan berbagai kontrofersi yang memanas dalam bumi Mesir, dalam buku tersebut terlihat jelas, kegelisahan dan kegundahan Qasim terhadap perempuan-perempuan Mesir yang terkekang dan tak memiliki pendidikan.
Kemudian disusul pada tahun 1900, ia menerbitkan sebuah buku lagi yang berjudul Al-mar'ah Al-jadidah (Perempuan Modern) yang merupakan tindak lanjut dari buku sebelumnya.
Tahun 1908, pada umurnya yang ke-45 tahun, ia meninggal dunia, meninggalkan ide-idenya dan karyanya, seorang Bapak Feminisme Islam yang tak pernah letih mengangkat derajat dan hak perempuan.
Dengan buah pikirannya tersebut, ia mampu menghancurkan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, bukan hanya pada perempuan Mesir, akan tetapi perempuan-perempuan di seluruh dunia.
Kata pujangga, aku tercipta untuk melengkapi sepasang cinta yang terselubung asmara, akulah penyatu cinta Adam dan Hawa, akulah yang mempertemukan cinta Qais dan Layla, akulah yang menghubungkan cinta Romeo dan Juliet, tapi aku bukan pelacur, yang menunggu lelaki bermain di kasur, aku juga bukan germo, yang mempersembahkan bidadari pada lelaki berduri, tepatnya, aku hanya penghias kamar tidur.
Semua lelaki menyukai tubuhku, bahkan mereka tak segan-segan mencumbuiku di depan kekasihnya sebelum mencumbui bibir kekasihnya, entah, apakah aroma tubuhku terlalu menyengat hingga parfum yang melekat di tubuh kekasihnya terpaksa bersujud pada aromaku, atau mungkin saja warna kulitku yang merah legam hingga menutupi kulit putih kekasihnya.
Sejak aku lahir, begitulah kehidupanku, hanya tercipta sebagai makhluk penghibur, padahal aku ingin bebas, aku ingin terbang menggagahi langit jingga, sambil menari diatas taman penuh cinta, tapi aku tak pernah mendapatkan impian itu, selalu saja kodrat dan nasib menghalanginya, apa Tuhan telah gagal memproduksiku? Atau mungkin karena sifatku yang selalu menginginkan semua sesuatu secara instant, ya, pagi hari cukup berdandan sederhana lalu menari mengikuti orkesta angin ditemani nyanyian matahari dan berhenti setelah satu sampai tiga tangan membawaku ke apatementnya, malam harinya, aku telah layu, tersapu benalu, sangat instant bukan?
***
Seorang perempuan cantik berkulit putih bening berjalan di sampingku, mata mungilnya menelanjangi tubuh telanjangku, disentuhlah aku dengan jemari lembutnya, dieluslah aku dengan jemari lentiknya, hingga duri yang menggigit jemarinya tak ia rasakan perih, malah tangannya semakin liar menggrogoti tubuhku, setelah beberapa detik kemudian ia telah membawaku berjalan ke rumahnya, kelopak merahku ia genggam erat-erat, tersirat dari genggamannya, bahwa ia telah menemukan kekuatannya yang lama terpendam.
Sesampainya di kamar, ia meletakkanku terlentang di kasur lembutnya, tak kusangka, ternyata di kasurnya, terdapat beberapa mawar sejenisku yang semuanya layu, warna merahnya telah menjelma hitam pekat, aroma khasnya telah terkontaminasi oleh aroma parfum yang menyamai aromaku, setelah meninggalkanku sendiri di tepi kasur, ia beranjak ke arah meja belajar, menuliskan sesuatu pada kertas berwarna merah muda, “Mawar ke sembilan puluh sembilan”, disusul senyum manis yang mengembang di bibirnya.
“krek” tiba-tiba daun pintu menyapa, matanya melongoh ke arah pintu, dan mendapatkan seorang lelaki tengah berdiri disana, lelaki separuh baya dengan sarung dan kemeja kotak-kotak itu menghampirinya yang berdiri tegak, senyuman yang sedari tadi mengembang tiba-tiba mengerut, kusut persis seperti mimik mukanya.
“sekarang” ucap lelaki tadi, dengan suara agak keras.
“aku sedang datang bulan” rengeknya lembut pada lelaki di depannya.
“aku tak butuh alasan” lalu lelaki itu mendekat ke arahnya, kini, tubuhnya dan tubuh lelaki itu hanya berjarak satu senti, dijambaknya rambut perempuan kecil itu, lalu wajahnya mendekat pada daun telinganya yang mungil, dan berbisik lirih “ingat ibumu, dia akan lebih kesakitan jika saat ini kau menolak permintaanku”
Ia tak berbuat apa-apa, hanya mencoba menahan muntah ketika nafas lelaki itu bermain nakal pada bagian telinga dan leher jenjangnya, dalam hitungan detik, ia telah terhipnotis, otaknya kosong, jiwanya bengong, memandangi kaos ketatnya yang berlari meninggalkan tubuhnya, bersujud di lantai.
Desiran angin pagi yang dingin, sesekali kurasakan hendak menolong si perempuan tadi, ia membentak sambil membantingkan dirinya ke kaca jendela, dengan sepenuh kekuatan, ia dorong lelaki itu dengan tenaganya, usaha sang angin tak sia-sia, ia telah berhasil merobohkan tubuh kekar sang lelaki, tapi sayang, ia tak terpintal ke lantai, malah, tubuhnya terjatuh tepat di tengah-tengah tubuh perempuan mungil itu.
“Ah angin, sial sekali kau, senjata yang kau gunakan menusuk musuhmu malah meleset dan mengena perut anakmu” ucapku lirih pada angin.
Aku yang sedari tadi mematung sendiri, ingin sekali menuusuk lelaki keparat itu dengan duriku, baru saja kuayuhkan duriku ke tubuhnya, tiba-tiba duri tumpul lelaki itu telah dulu menusuk dan menghardik tubuh mungil di bawahnya,
“ah kasihan sekali engkau duri, meski kau terlihat lebih tajam, tapi terkalahkan oleh benda besar, besar memang selalu menang.” Ucapku menenangkan duri.
akhirnya kuasa yang kumiliki nyaris sirna, aku sadar, aku hanya setangkai mawar yang tercipta meladeni kumbang, aku hanya tercipta sebagai penghias halaman belakang, sesekali penghias kamar tidur.
Setelah puas menghisap sari si perempuan, lelaki itu beranjak dari letihnya, mengusap keringat hangat di tubuhnya seraya memperbaiki sarung dan kemejanya, lalu berjalan menuju pintu, sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, ia palingkan badanya ke arah perempuan di dekatku, “sehari ini, ibumu akan mendapatkan tiga kali jatah makan”
Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya membawanya keluar meninggalkan aku dan perempuan disampingku.
Ia masih menangis di bibir ranjang, mencoba memungut kekuatan Tuhan, aku lihat tangannya menjalar ke laci meja samping kasurnya, lalu mendapatkan selembar foto seorang perempuan cantik, kira-kira masih berumur 30-an, diciumnya foto itu dengan amat mesra, dieratkannya ke dadanya, lalu diciuminya lagi, dan didekatkannya di dadanya, terus seperti itu, sampai ia berhenti ketika tangannya menarik tubuhku yang sedari tadi melamun,
“lihat foto ini mawar, lihat foto ini, ini foto ibuku setahun lalu, masih sangat cantik bukan? Dan apakah kau tahu, siapa lelaki setan tadi? Dia ayah tiriku, sangat baik bukan? Selalu memberikan “nafkah” lebih pada anak perempuannya.”
Mendengar ceritanya padaku, tiba-tiba saja, seluruh kolopak mawarku menghitam lebam, tangkai-tangkai di kakiku mulai layu satu persatu, duri-duriku-pun langsung terkelupas sendiri, aku baru tersadar, ternyata perempuan hanya tercipta untuk urusan sumur, dapur, dan kasur,
“ah perempuan, nasibmu tak kalah miris dengan nasibku, kita tercipta dengan struktur indah, tapi keindahan itulah yang seringkali memenjarai kita, keindahan itulah yang kerap menghantui kita.”
Jiwaku tak kuasa menerima kenyataan perempuan itu, ia berusaha keluar dari raganya, membawa roh yang bersemayam dalam tubuhnya, dengan bantuan hembusan angin, rohnya telah terlepas dari raganya, kini, rohku dan rohnya telah bertemu di langit kamarnya, lalu roh kami bersatu, sedikit sinar matahari yang terpancar dari balik jendela, telah membantu roh kami berfotosintesis, melebur menjadi satu roh, satu raga, satu jiwa, hingga melahirkan setangkai anak mawar hitam kelabu, anak mawar itu menangis sejadinya, sampai-sampai air matanya telah membanjiri seisi ruangan kamar.
Roh kami hitam, raga kami hitam, jiwa kami hitam, meja belajar hitam, seprai dan kasur hitam, lemari pakaian hitam, malah angin yang tak berwarnapun telah menjadi hitam, langit biru kini bagai malam tak berpurnama, dedaunan hijau kini layu tak bertangkai, sungai-sungai yang dialiri air bening kini telah teraliri warna hitamnya, tak ketinggalan wajah-wajah seram manusia, semuanya tampak hitam pekat. Entah dengan Tuhan, malaikat, jin, setan, surga dan nerakanya, hitamkah mereka oleh warna mawar hitam?
“Mawar hitam ke Sembilan puluh Sembilan” tulis Tuhan dibalik langitNya.
"Kak Abdullah, Abi telah menjodohkanku dengan putra seorang Kyai " ucapnya ketika malam sedang bersujud di kaki rembulan, tiba-tiba hawa panas dalam tubuh kurusku menyeruak berantakan, mendidih, membakar peluh yang bertengger luluh.
"kamu mengenalinya dik Fatimah?" tanyaku pada perempuan berkerudung merah
muda yang duduk di sampinku, di teras masjid sebuh pondok.
Udara segar yang dibawa angin malam membelai rok panjangnya, ia benarkan roknya yang tersibak angin nakal, tangannya masih memegang kitab suci yang sedari tadi dihafalnya, kulihat pada bola matanya, tak secerah dulu, tak seindah dulu, tak sesejuk dulu, penyulusuranku pada matanya telah membuat otakku berputar hingga buntu pada dua pertanyaan, mungkinkah air matanya telah kering akibat keputusan abinya?, atau mungkin saja sedang menari-nari setelah dipinang pria berdarah biru? Kuulang pertanyaanku yang sedari tadi menggantung di atas ranting kering belakang masjid.
"kamu kenal dia dik Fatim? Sudah pernah ketemu? Sudah tahu sifat dan karakternya" cerocosku panjang, sampai-sampai tak kusadari, wajahku hampir saja menyantap wajahnya yang hanya berjarak lima centi dari wajahku.
"Belum kak, mukanya saja aku belum tahu, apalagi sifatnya, setahu saya, dia anak Kyai besar di jawa timur" bibirnya yang berkatub telah membuat daun-daun belakang masjid menari keasyikan
"Terus, bagaimana responmu dik?"
"Itu dia masalahnya kak, aku bingung mau berbuat apa"
Aku terdiam, terhenyak bagai rembulan menatapi alam, pikiranku kosong, hening begitu saja, memandangi malam dengan tanpa angan.
***
Pagi ini matahari terbit tak maksimal, sinarnya sedikit tertutup mendung hitam yang sejak malam tadi menemaninya, burung-burungpun mulai malas bernyanyi lagu menyambut pagi, yang kudengar hanyalah suara bising santriwati yang menyapu halaman pondok dengan seabrek gosip barunya, tak kuhiraukan gosip paginya, toh gosipnya tak kan keluar dari bahasan santri-santri ganteng, ustadz-ustadz baru yang culun, atau bahkan gosip tentang calon tunanganganya di rumahnya. Geli juga gosip perempuan, pekikku.
Kulirik jam dinding kamarku, cepat sekali waktu berputar, tak terasa kini sudah setengah delapan lewat lima menit, aku harus bergegas masuk kelas, kini giliranku mengajar Fiqh syafi'Ie di kelas II Aliyah, kuambil kitab fiqh diatas kasurku, sambil memandangi tubuhku yang berdiri tegap di hadapan cermin, lalu kurogoh kantong celanaku, tempat persembunyian rokokku, tapi tak kutemukan, malah sebuah suara aneh tiba-tiba membuyarkan konsentarsi pencarianku, kuintip dari balik jendela kaca yang menghubungkan kamarku dengan ruang tamu.
"kalau kamu tidak mau menikah dengan lelaki itu, lebih baik pergi saja dari rumah ini" teriak seorang bapak di pojok ruangan, kutelisik siapa gerangan disana, dan ternyata Kyai Badri Munir pengasuh pondok yang telah menampungku kurang lebih dua bulan ini, di depannya seorang perempuan putih yang berdiri tegap dengan kepala dan badan agak bungkuk, hanya diam yang menjadi bahasanya, rasa ketakutan dalam dadanya telah ia bungkus secantik mungkin dengan tundukan kepalanya, tak ada yang bisa ia perbuat kecuali menunduk, bungkuk.
Entah angin dari mana yang telah membawa hawa panas neraka, hingga jiwanya mendidih, menggelegar, membongkar kelembutan dalam jiwanya, memasuki pori-pori tubuhnya, setelah beberapa menit, perempuan lugu yang menunduk didepannya telah menjadi monster raksasa yang amat menakutkan,
"Abi, mengapa perempuan selalu dihimpit cita-cita orang tuanya, apa salah perempuan hingga selalu dibawah, ditunggangi oleh keinginan bapaknya, tak adakah hak perempuan saat ini, hingga dia tak dipaksa meladeni mimpi ibunya.
Lalu apa bedanya orang tua macam ini dengan seorang germo pelacur, yang rela menjual cinta anaknya pada laki-laki yang tak dicintainya, yang sudi bibir anaknya dicumbui bibir kering tanpa cinta dan rasa, sampai dadanya diobral begitu saja untuk sarapan neneknya demi kepentingan yayasan berbau meterialistik".
Hardiknya keras, sampai-sampai seisi ruangan telah menggema suaranya, seakan gelas kaca yang duduk di meja makan beterbangan ketakutan oleh suaranya, begitu pula angin sepoi-sepoi didikan pagi telah berubah menjadi topan menakutkan.
"pyar…" satu tamparan mengenai pipi halusnya, tetapi tamparan itu tak ubahnya angin yang menyapu debu, jiwa buasnya tak mampu dilumpuhkan dengan hanya satu pukulan saja.
"Bi, bagiku, darah biru tak kalah mulya dari darah kalelawar, mengintai manusia pada remang, pengecut ketika terang oleh sinar". Cibir perempuan kecil itu.
"Diam kau Fatimah, tahu apa kamu tentang hak perempuan?" wajah Kyai Badri memerah seketika, matanya seakan keluar dari kelopaknya, dalam hatinya tak pernah terdetik anak perempuannya akan menginjak-injak kehormatannya.
"Bi, kelak bagaimana masa depan anak-anakku? masihkah ia mengulangi pelacuran suci ibunya? Masih pantaskah aku mengajarkan puisi cinta padanya? Sedangkan aku telah menjadi pelacur yang digermoi sendiri oleh orang tuaku".
"Pyar, pyar, pyar" tiga kali tamparan abinya telah membuat mulut kecilnya berdarah, kakinya yang sedari tadi berdiri mulai kehilangan kontrol, tubuhnya langsung terkulai lemas diatas karpet yang dipijakinya, ia tatap laki-laki di depannya bak tatapan elang pada mangsanya, ia terdiam sejenak, jiwanya galau, hatinya kalut, nuraninya telah terbakar oleh keputusan pahit Abinya.
Ia terdiam, matanya masih mengelilingi wajah Kyai Badri, dalam keadaan seperti itu, ia bingung mau berbuat apa, lau berlari secepat sinar, tak dihiraukannya abinya yang memanggil dari belakang, telinganya sudah tersumbat oleh perilaku abinya.
Aku beranjak dari balik jendela, menghampiri adik angkatku yang berlari ke halaman pondok.
"Dik fatim" teriakku memanggilnya dari jarak sepuluh meter, ia tolehkan wajahnya ke arahku lalu menghampiriku yang berdiri di pintu kamar, kupersilahkan ia masuk kedalam kamarku, lalu kuhidangkan ia segelas air dingin untuk menyejukkan dadanya yang terbakar amarah.
"Tolong aku kak, calon menantuku akan datang hari ini." raut mukanya menampakkan ketakutan dan kekhawatiran yang sangat mendalam, pada satu sisi, jiwaku tak kuasa memandangi perempuan lemah yang merengek di depanku, di satu lain profesiku menjerat dan memaksaku untuk mendahulukan tugas mengajarku yang hanya bersifat struktural dan formalitas,
"tapi sekarang aku harus ngajar dik, bagaimana kalau nanti malam saja"
Lagi-lagi Air matanya terjatuh pelan-pelan membasahi lesung pipinya, matanya tiba-tiba merona, hidungnya menyeruput ingus yang mengalir bersamaan dengan aliran air matanya, tubuhnya tiba-tiba menggigil, tangan dan bibirnya bergetar menyalami dedaunan yang terhembus angin, garis-garis di dahinya basah oleh peluh yang luluh ketakutan, ia terdiam, memandangi langit-langit kamarku dengan tatapan kosong, mataharipun bungkam, gerimis tak lagi menangis, tunduk akan tangisan air matanya, hembusan angin membawanya beranjak mendekatiku.
Dia terdiam sejenak, mengumpulkan sejuta kekuatan untuk menompang kakinya yang mulai tak terkontrol, dengan sangat tiba-tiba, ia hentakkan tangannya mendorong tubuhku yang berdiri di samping kasur bututku, aku terjatuh memasrah.
"Kali ini aku mohon padamu kak, tolong jadikan aku sebagai istrimu, apa yang kan kau perbuat ketika istrimu dipinang laki-laki lain?
Air matanya tak dapat dibendung lagi, setetes darinya telah membuat nuraniku tak berkutik, aku kikuk, bagai mati rasa, otakku ingin meledak saja, berlari dari kondisi yang sangat mengecam ini.
Nafasku semakin berlari kencang sampai ke ubun-ubun, jiwaku kosong, aku hilang keseimbangan, tubuhku mandi peluh yang luluh akan ucapan melasnya, tak ada yang dapat menolongku kecuali kepakan sayap garuda yang kan membawaku terbang ke langit ketujuh, melupakan nasib na'asnya, tapi hanya angin pagi yang mencoba menerbangkanku, ia tak kuasa dan akhirnya mengelus dadaku agar meladeni permintaannya.
Dia menghampiriku yang duduk di bibir kasur, tak kusangka, dalam hitungan detik, tubuhnya telah menutupi wajahku, dia terdiam sejenak tanpa reaksi apapun, lalu tangan kanannya mencopoti kain yang sejak 19 tahun menutupi tubuhnya, dibukakanlah bagian atas bajunya, hingga pakaian kecil yang membungkus daging dadanya terpaksa menjadi tontonan indah pagi itu, kelakianku tak lagi jantan, mataku tak lagi binal, bibir, tangan dan kakiku seketika beku tapi tak sebeku salju.
"kalau kamu memang kakakku, dan ingin menolong adikmu, lakukakan tugasmu kak, aku pasrah, aku rela menghidangkan mahkota suci ini pada kakak, aku juga siap atas segala resiko yang kan terjadi, lakukan kak, aku mohon, lakukanlah..!" mataku panas, naluriku terbakar hangus, seperti sinar matahari yang tak henti-hentinya membakar tubuh bumi.
"Dik, apa kamu sudah gila? Tak sadarkah kamu, bahwa perbuatan ini sangat dimurkai Tuhan." Ucapku tegas seraya memalingkan wajahku dari tubuhnya.
"Apa..? Tuhan Kak…! Kemana Tuhan ketika abiku menerima pinangan laki-laki itu? Apa yang Tuhan perbuat ketika aku menangis bersujud tiap sepertiga malam? Dimana Tuhan ketika hatiku selalu dihantui ketakutan oleh pinangan laki-laki itu? Tuhan hanya diam kak, Ia tak berbuat apa-apa, sesibuk apa Tuhan sampai lupa malah lalai pada salah satu makhlukNya?" hentaknya padaku sambil tangannya meraih wajahku dan menenggelamkannya kedalam wajah manisnya.
"Astaghfirullah, apa yang telah kamu katakan Fatim? Tuhan sangat sayang sama kita, hanya saja…."
Belum sempat aku selesaikan kalimatku, dia telah menyumbat mulutku dengan bibirnya. Kunikmati sejenak, lalu kumuntahkan kembali bersamaan dengan rebahnya tubuhnya disampingku.
***
Siang telah menjelma malam, matahari telah lengser dari singgasananya, rembulan bersiap-siap menyalami alam, pepohonan yang selalu tegar berdiri mulai terlelap akan belaian angin malam, hanya suara jangkrik yang menjadi musik kami dibalik gubuk reot, di pematang sawah desa.
"Fatimah, bolehkah aku masih memanggilmu adik?" tanyaku dibawah pohon kelapa bersamaan dengan angin yang menyapa ilalang kering seraya bertasbih di sampingku,
pertanyaanku telah membuat duduknya tak nyaman, tak kulanjutkan ucapanku, kusimpan setengahnya di ranting langit.
"Kak Abdullah, kini kau bukan lagi kakakku, engkau adalah suamiku, engkau adalah imamku, engaku adalah rajaku, sedangkan aku, aku adalah budakmu, aku adalah selirmu, aku adalah tulang rusukmu yang harus kau tegakkan dengan cintamu, jiwa dan raga yang kumiliki hanya mengharap titah dari kak Abdullah" ucapnya lembut bak helaian rambut yang jatuh pelan-pelan dari kain sutera.
"Tapi aku sudah mencemarkan nama baikmu, akulah dalang dari semua ini, akulah yang telah memporak-porandakan pondok abimu, akulah yang telah menjadikan kepalamu berdarah akibat tumbukan batu orang sekampung, akulah yang menodaimu, akulah yang menghancurkan masa depanmu, akulah yang …"
"Sudah kak," jemari lentiknya menyalami bibirku yang berdarah
"aku tak ingin mendengar lagi ucapanmu seperti itu, baiknya kita cepat-cepat pergi dari tempat ini, sebelum masyarakat kampungku menemukan persembunyian kita, bawalah aku kemana saja kak, langkahku akan selalu menyertaimu kak, bimbing aku untuk menjadi permaisurimu, jadikan aku bidadari kecilmu, ajari aku cinta sucimu"
Anganku seakan melayang mendengarkan celoteh manisnya, ingin kuketok pintu Tuhan, menemuiNya lalu mengemis surgaNya sebagai rumah kita, agar kita bisa abadi dalam cinta yang kita bina.
Aku beranjak dari letihku, kuraih tangan istriku, lalu membawanya berlari mengejar harapan baru, meniti lembaran baru, mengumpulkan impian indah yang pernah menjadi mimpi remajaku, kendati aku tak pernah tahu kemana kakiku beranjak, yang terlihat di depanku hanyalah ruang gelap lagi senyap tanpa secercah sinar matahari.
Tak pernah terpikirkan olehku, semuanya akan berakhir tragis seperti ini, kadang hati kecilku marah ketika mengingat kembali akan tindakan keji itu, seorang ustadz memperkosa putri Kyainya, Hina..!
***
Dua pekan kemudian
Lantunan sholawat atas Nabi ditemani suara gemuruh rebana memenuhi ruangan masjid, menyeimbangi bunyi klakson mobil di luar sana, sebuah orkesta islam klasik yang tak kutahu asal muasalnya, kulirik ke samping kananku, seorang cameraman mencoba mengabadikan prosesi suci ini lewat jepretan kameranya, pembacaan berzanji beserta diba'pun telah usai, didepanku duduk dua orang Kyai sepuh yang menjadi waliku, kusungkemi mereka dengan penuh takzim, mataku memandangi seluruh ruangan masjid yang sesak oleh tamu-tamu tak kukenal, lalu berhenti pada sebuah dekor berhiaskan ukiran jawa kuno yang bertuliskan:
PROSESI PERNIKAHAN
M. ABDULLAH AR-RAHMAN ,LC BIN KH. MACHFUD DARWIS M.A
DENGAN
FATIMAH AZ-ZAHRO' BINTI KH. BADRI MUNIR
Kukira Tuhan sedang sibuk hingga tak peduli lagi pada makhluknya, tapi aku salah, Tuhan masih Mahapengasih, dengan sifat Mahapengasihnya, Dia mengirimkan malaikatnya melalui seorang Kyai yang menemukan kami berdua pingsan tak berdaya di tepi sungai sebuah pelosok pedesaan.
***
Di atas ranjang bertaburkan mawar merah dan melati, aromanya menyusup keseluruh relung dan sel-sel dalam tubuhku, disampingku dua gelas air mineral dengan es diatasnya memandangiku yang sedari tadi membelai rambut istriku, malam ini adalah malam paling bersejarah dalam hidupku, malam penuh bunga-bunga surga, diatas atap rumahku, sayap malaikat terbentang hingga beribu doa terjatuh dari kepakan sayapnya, bidadari surgapun cemburu pada setengah permainan cinta kami, disampingku seorang Fatimah Az-zahro' yang pernah menjadi adikku, tertidur kecil di atas dada bidangku.
"Kanda Abdullah…siapakah manusia yang paling Kanda cintai? Tanyanya membuka percakapan kami.
"ibuku"
"lalu" sahutnya,
"adik-adikku"
"terus" lanjutnya,
"anak-anakku"
"kemudian" tanyanya dengan mata agak melotot.
"sudah itu saja."
Wajahnya berubah seketika, matanya menatapku dalam-dalam, dengan sekuat tenaga bibirnya mencoba membantah jawabanku.
"Lalu dimana kau menempatkan posisiku dalam cintamu Kanda?" dia angkat kepalanya turun dari dadaku, sambil kukumpulkan doa-doa hinggga menjadi sebuah kata yang merebut derajat mantra,
"Dinda Fatimah ….
Bagiku, Dinda adalah nama cinta itu, yang tak perlu kuucapkan lewat sepatah dua patah puisipun, Dinda adalah cinta, dan cinta adalah Dinda. tanpa Dinda, cinta tak ada, tanpa cinta, Dindapun tak ada.
Tuhan sengaja menciptakan Dinda dari sepasang cinta, tak lain agar Dinda menyempurnakan makna cinta itu.
"Fatimah bidadariku…
Lama sudah kuberkelana mencari cinta, tak kutemukan apa-apa, hingga ketika aku mengenalmu, kau datang dengan alat pelebur dosa mensucikan aku dan tubuhku, lalu akupun menjelma cinta yang kau bawa.
kini kita adalah sepasang cinta yang saling melengkapi makna dan abjad-abjad misteri yang berkelabu dalam cinta.
"Dinda...adakah pertanyaan lain yang belum kau fahami tentang cintaku pada cintamu"?
"Ada" celetuknya dengan senyuman yang tiba-tiba berkembang dari bibir kecilnya.
"Apa?" ucapku mengejar.
"Kira-kira malam ini, kanda kuat berapa ronde melayani Dinda?
Darahku lebur, hancur berkeping-keping, hingga sekeping darinya telah masuk kedalam tubuhnya dan bermain nakal di atas sel-sel pembuluh darahnya.
*(kado pernikahan untuk sobat perempuanku yang sedang ditunggangi impian bapaknya)
Aku suka memakai cadar, di kampus, di terminal, di mall, di pasar, bahkan di tempat lokalisasi-pun pakaian itu tak pernah lepas dari wajahku.
Pernah suatu ketika, sepulang dari kuliah, seorang laki-laki menghampiriku dan berkata "kok wajahnya ditutup Mbak? Jangan-jangan kumisan ya?,"
"cantik-cantik kok kumisan" seorang lagi menyahut dari belakang, lengkap dengan gelak dan tawa yang menggelegar. Tak kuhiraukan ejekannya, toh mereka tak punya hak apa-apa terhadapku termasuk wajahku.
***
"Pakai cadar enak juga" itulah kira-kira hasil perenunganku ketika sedang berkencan dengan pacarku, tangan nakalnya tak berani lagi bermain liar di dadaku, mata binalnya tak jelalatan lagi memelototi tubuhku, apalagi bibirnya, bibirnya sudah mati rasa, tak pernah lagi berlutut di bibirku, meski sebenarnya bibirku kangen dengan sentuhan bibirnya, tapi mungkin dia malu atau segan mengulumnya dibalik cadarku.
Sudah setahun lamanya, wajahku tak pernah lucut dari cadar, setahun itu pula, telingaku mulai gatal dengan rongrongan masyarakat sekampung, cemooh orang-orang di sekelilingkupun mulai ramai terdengar, mereka menuduhku sebagai teroris, mereka mengata-ngataiku sebagai orang yang tak punya rasa percaya diri, mereka menghinaku sebagai orang yang tak memiliki wajah, tak ketinggalan dengan adik lelakiku, dia malah memanggilku dengan Ninja Hattori, Spiderman girl, atau pahlawan bertopengnya Sinchan, pertama kali mendapat julukan itu, aku cuek bebek saja, toh dia masih kecil, masih belum mengenal dunia remajaku yang penuh lika-liku, malah aku bisa mengambil beberapa hikmah dari ejekannya, salah satunya adalah "sesuatu yang baru selalu ditentang", sama halnya dengan pengantin baru, ketika malam pertama, pengantin perempuan pasti kaku, tapi setelah malam berikutnya pengantin laki-lakilah yang terpaksa mati kutu, ya..itulah "baru" selalu menjadi hantu.
***
Ketika rembulan telah membuka cadarnya, gelap telah menyibak tabir terang, lampu-lampu di jalanan mulai menghiasi trotoar jalan, aku melangkah keluar rumah, dengan tank-top berwarnah agak transparant, rok ketat sampai paha sesekali memperlihatkan keindahan kakiku, rambutku, kugerai agar aroma Conditioner yang kupakai setelah keramas bisa kubagi-bagi pada hidung busuk, Chanel's parfum, hadiah ulang tahun dari pacarku tercium ke sela-sela lorong jalan yang kulalui, di sampingku segerombolan laki-laki sedang asyik bermain kartu, rokok dan minuman keras menyertai permainan mereka, aku lewat depan mereka, dengan wajah tertunduk malu ke bawah, meski siulan-siulan nakal terdengar menyeimbangi irama pinggulku yang meleok-leok, tapi tak pernah kugubris walau dengan satu senyuman saja.
Kuteruskan langkahku menyeruak lorong yang dipenuhi kerikil dan bebatuan, tak kurasa, tiba-tiba satu pukulan kasar menempel di pantatku, aku kaget, meski juga senang, ternyata ada juga yang perhatian pada pinggulku, aku tersadar dan cepat kubuyarkan lamunan keji itu, tubuhku langsung terperanjat, wajahku memerah seketika, ingin kuhantam pemukul tadi dengan batu di depanku, lalu kupatahkan tangannya dengan kayu di sampingku, kemudian mulutnya, ingin kujejali dengan celana dalamku, agar otaknya tersumbat darah haidku.
Setelah mengumpulkan beberapa keberanianku, kupalingkan wajahku ke belakang, mataku semakin terbelalak, ketika lima orang pemuda dengan pakaian rombeng tiba-tiba telah berdiri di belakangku, kubatalkan keinginan tadi, yang ada dalam otakku hanya satu kalimat "LARI".
Nafasku sudah tak beraturan, tubuhku bermandikan keringat malam, pelarianku buntu pada sebuah gedung tua tak berpenghuni, mataku mengintai lima laki-laki yang sedari tadi mengejarku, ketakutanku masih membekas dalam jiwa perempuanku lalu menyuruh otak dan kepalaku untuk meneruskan perlarianku, namun sayang kaki tak sanggup merealisasikan perintah dari otak, akhirnya aku hanya duduk setengah jongkok sambil berdoa semoga lima laki-laki tadi tak menemukan persembunyianku.
Aku duduk bersandar pada tembok yang hampir roboh, sekujur kakiku menggigil bagai terjebak di kutub selatan, mulutku tak henti-hentinya melantunkan doa pada Tuhan, meski aku tak tahu apa maknanya, doa masuk WC, doa sebelum makan, doa sebelum tidur dan seabrek doa pelajaran guru agama sejak di SD dulu, tapi toh intinya tak mungkin jauh-jauh mengharap perlindungan Tuhan, karena begitulah sifat manusia, selalu mengadu pada Tuhannya ketika sedang dilanda duka, lalu akan lupa padaNya saat bahagia menyapa, "maklum manusia kan bukan malaikat, yang selalu manggut-manggut pada titahNya" bisik nuraniku.
Jari-jari kasar tiba-tiba mendekap mulutku dari belakang, kucoba memberontak tapi kelemahanku terlalu dominan sehingga kekuatan tanganku tak mampu membuka dekapan tangannya di mulutku, setelah beberapa menit, tangan kasarnya mendekap di mulutku, ia semakin tahu akan kelemahanku, ditariklah sekujur tubuhku hingga aku terjebak pada posisi terlentang, kukumpulkan sejuta kekuatan untuk melawan tangan kasarnya, dan aku berhasil melepasnya sejanak, tapi jantungku semakin copot setelah menemukan dua lelaki telah berada di ujung kakiku, cepat kulayangkan jurus kungfuku pada wajah mereka, lagi-lagi dua tangan kasar menghentikan gepalan tanganku dan menarik tubuhku hingga tak ada yang bisa kuperbuat kecuali pasrah.
Setelah beberapa menit, tubuhku makin menggigil, setelah tank-top yang kukenakan mulai meninggalkanku satu persatu, tak hanya sampai disitu, rok mini yang sedikit menghangatkan pahaku kini telah tersibak tangan nakal mereka, tapi setelah beberapa detik, tiba-tiba dingin yang menyerang sekujur tubuhku hilang seketika, terganti kehangatan yang belum pernah kurasakan selama hidupku, kucari sumber kehangatan yang tiada tara itu, ternyata tanpa seizing dariku, tubuhku telah tertindih tubuh seorang lelaki bertopeng gelap, mataku gelap, pikiranku lenyap, sel-sel darahku berlari ke ubun-ubun, peluh demi peluh telah mengalir dari pori-pori tubuhku, tak ada kedinginan pada saat itu, hanya perih yang meliliti di sela-sela selangkanganku.
Sejak kejadian biadab itu, mentalku turun, jiwaku tak karuan, satu-satunya mahkota paling berharga telah dirampas lima orang lelaki, bibit-bibit dendam pada semua lelaki mulai tumbuh dan bersemi dalam jiwaku, bagiku, laki-laki tak ubahnya kutang, kapan saja boleh ditinggal, tak ada kata cinta suci pada lelaki, yang ada hanyalah sebatas permainan selangkangan, itu saja.
***
Aku suka memakai cadar, busana itu adalah senjata terampuhku, karena pakaian itu telah banyak membantu dalam pelampiasan dendamku pada lelaki, meskipun kata guru ngajiku dulu, balas dendam adalah perkara yang sangat dimurkai Tuhan, tapi nuraniku selalu mencari alasan untuk membenarkan perbuatanku.
"toh mereka telah merampas kehormatanku, tapi Tuhan tenang-tenang saja tuh, tak ada tanda murka Tuhan buat mereka."
Proses dendamku pada lelaki sudah beroprasi setahun lamanya, sasaranku adalah lelaki hidung belang yang sudah punya kekasih,\di kampusku, sebanyak delapan laki-laki yang kupacari telah diputus oleh kekasih, ada yang ditampar di tempat umum karena ketahuan menggodaku, ada yang diludahi tepat di wajahnya karena di Handponenya selalu tertampil panggilan keluar dengan nama yang sama "Lusiana Dewiyanti", ada yang disiram soto ayam karena dalam tasnya tersimpan cadar hitam untukku, malah bukan hanya teman kampusku saja, para dosen yang doyan daun muda juga telah aku "preteli," contohnya saja Pak Idrus Shaleh, Dosen Akidah Filsafat Islam yang hari lalu telah ditinggal istri dan anak-anaknya setelah kepergok mengecup kening cadarku, aku heran, mengapa dia mengecup cadarku, bukankah lebih nikmat mengecup bibirku saja, lalu dengan sangat bijak dia menjawab, "yang aku suka darimu adalah cadarmu bukan tubuhmu," ucapnya dalam mobil pribadinya usai mengantarku pulang dari kuliah.
"Tai kucing" bisik hatiku dalam-dalam disusul senyum kecil dari bibirku.
Aku suka memakai cadar, bukan karena agama, bukan karena orang tua, bukan karena pacar, melainkan untuk meleburkan dendam yang terpendam.
Kupandangi langit kelam, berharap secercah cahaya rembulan datang, tak ketemukan apa-apa, hanya sinar kecil yang terpancar dari bintang kejora, ah entahlah, kejorakah itu atau bukan, toh aku tak pernah bersahabat dengan bintang, bagiku bintang tak ubahnya kutang, kecil menjengkelkan, sama-sama menyelimuti benda kenyal, mendung dan belahan, sama-sama bisa dilihat, tak mampu digenggam.
kuenyahkan kekecewaanku pada rembulan, lalu menyeruak keluar dari sangkar, melalui lorong kosong tanpa sinar, mulutku sesekali berdzikir lirih "jancok, anjing, keparat, biadab" dzikir yang pernah setan ajarkan pada pemeluknya, dan aku -mungkin- termasuk di dalamnya.
Penantianku pada buah hati langit telah pudar, dari tadi yang kudapat hanyalah sebungkus hampa yang terus memelukku erat-erat, setelah hampa menyelimuti tubuh kurusku, datanglah galau menjemputku, tanpa ketok pintu dulu dan tanpa salam sekedar basa-basi, galau telah berhasil mencuri tempat persemayaman di sela-sela hati dan jantung, ingin ku usir dia, tapi tiba-tiba dua bersaudara sepi dan sunyi merebut kekuatanku, hingga aku terlentang malang di pinggir danau tak bermuara, persis seperti bangkai ikan yang berlumur pasir dan air garam, begitupun aku –berlumur hampa, galau, serta sepi dan sunyi-.
Setangkai mawar datang pelang-pelan menembuskan aromanya keseluruh tubuh keringku, dia masuk melalui lubang-lubang di tubuhku, dari mata, hidung, mulut, telinga, pusar, dzakar, dan dubur busukku, aku heran, kok mau-maunya mawar menyelinap dalam dubur busukku, apa mungkin mawar ingin menguji aroma wanginya, atau mungkin saja sang mawar tengah mabuk kepayang pada duburku, ah, dubur, dubur, wajahmu selalu mengingatkan pada kekasihku, datang ketika sakit perut –atau lebih tepat dibawahnya sedikit- menerjang.
Aroma sang mawar tak sia-sia menerjang kebusukan dalam tubuhku, dengan warna merahnya, ia telah berhasil mengeluarkanku dari jeratan hampa, galau, sepi dan sunyi, aku bebas, lalu berlari ke ujung sungai, menertawai ikan-ikan yang hanya mampu berenang, mengejek perahu kecil yang hanya mampu berjalan dengan mesin buatan manusia bodoh, "kasihan sekali kalian, cuma bisa menjadi kucing-kucingan manusia berwajah setan."
"Auwww" duri menyalami kakiku, "dasar tak tahu adab sopan santun, harusnya izin dulu padaku", darahpun mengucur dari balik kulit tebal kakiku, dia terjatuh ketanah lalu menjelmalah tanah, tanah adalah tempat berakhirnya segala makhuk, dedaunan layu setelah terjatuh ke tanah, airpun kering setelah tersengat tanah, ikan-ikan dijemput sakarotul maut ketika menginjak tanah, begitpula manusia, ia akan rela menebas leher bapak-ibunya setelah bersengketa karena tanah –khusus yang ini adalah tanah warisan-.
Kini, kakiku berjalan tak seperti biasanya, langkahnya menginjit-injit tanah, entah apa karena marah pada tanah, atau sedang menahan perih atas salam dari sang duri.
Siang yang menjengkelkan telah berevolusi menjadi malam, senang sekali hatiku ketika malam menyambut, karena dengannya, aku bisa menyembunyikan kegelisahan hidup yang selalu menyelimuti diriku, sama seperti malam-malam biasanya, aku berlari kehalaman rumah, menantikan datangnya kekasih bintang, selama beberapa menit disana, rembulan, kekasih selingkuhanku tak kunjung tiba, apa dia telah menikah dengan bintang? hingga pula menjelma bintang? apa dia telah bertunangan dengan awan? hingga sinarnya redup oleh kabut sang awan? ah, tidak, semoga itu tidak terjadi padanya, aku sangat membutuhkannya.
"Hal yang paling membodohkan adalah menunggu" bisik nuraniku dalam-dalam, otak yang menerima pesan dari nurani langsung menyuruh kaki untuk mengamini firmannya, lalu aku berlari mengejar rembulan, terus kupaksakan mengejarnya, hingga sendi-sendi kakiku tak dapat menopang langkahku, lalu terjatuh pada sebuah jurang antah berantah, tubuh krempengku tertiup badai, kepakan sayapku telah terbentur pohon cemara besar, hingga kuasa nyaris sirna, dalam jurang tak berpenghuni itu, kutemukan daun-daun segar bertasbih pada Tuhannya, ragaku membisu tersumbat pada beberapa pertanyaan nurani, "sudahkah aku bertasbih seperti yang ditasbihkan daun-daun itu", isak air matanya berkata demikian, ia ayuhkan lagi kakinya menerobos semak-semak belukar, tapi sayang sepasang batu jantan dan betina tiba-tiba mengemis belas kasihan di tanah, secepat kilat aku menghindar darinya, hingga beberapa cibiranpun datang bergantian dari sepasang batu itu, "dasar manusia tak tahu terimakasih pada Tuhannya". Ah hanya cibiran batu tak berakal, rugi rasanya bila menyimpannya dalam akal.
Kuteruskan perjalananku meninggalkan daun-daun bertasbih dan bebatuan yang mencibir, kemudian pandanganku tertuju pada sebuah goa, dari mulutnya terdengar suara kelelawar sahut-sahutan, sesekali desahannya terdengar oleh bebatuan, aku masuk ke dalamnya, gelap gumpita menyambutku dengan bebarapa sesajean ala kadarnya, ada opor tai kelelawar, ada gulai bangkai kambing, ada juga gorengan tikus mati, suasana semakin lengkap ketika bidadari dengan gaun putih agak bersih mempersilahkanku untuk menikmati hidangan itu, aku duduk di dekatnya, sesekali melirik nakal pada dadanya, ia tuangkan segelas air berwarna merah yang aromanya sangat menyengat pori-pori hidungku, aku langsung meneguknya, berharap yang kuminum adalah arak buatan surga, ketika air itu sampai di kerongkongan tiba-tiba ia menghantam bibirku dengan bibir hitamnya, kunikmati sejenak lalu kumuntahkan kembali bersama rebahnya tubuhnya di sisiku, hasratku memuncak ke ubun-ubun, disusul lidahku yang sangat lincah menari-nari dalam mulutnya, tak puas dengan mulutnya, lidahku mencair ke dadanya, aku semakin buas bak harimau memangsa rusa, hingga tak kurasa kulit yang menutupi tubuhnya telah mengelupas, kini tak ada penutup lagi di tubuhnya, hingga hati, jantung, paru-paru, tulang rusuk, dan darah yang mengalir bisa kuraba dengan sesuka hati.
Ah… inikah bidadari yang disiapkan Tuhan dalam surganya, saking beningnya sampai-sampai seisi dada dan perutnya telah terkelupas oleh nafsu binatangku, aku muak, ingin muntah pula, akhirnya aku berlari sekencang kuda jantan mengejar betinanya, mataku masih menoleh ke perbaringan bidadari bening itu, wajahnya merah, pertanda sang bidadari sedang marah karena nafsunya belum terselesaikan dengan nikmat, ia ambil sepatu kaca di kakinya dan melemparkannya padaku yang berlari "dasar manusia tak tahu terimakasih pada Tuhannya,"
Alah… bidadari tahu apa tentang terimakasih, toh ia hanya manggut-manggut pada titah Tuhannya, beda dengan manusia, Tuhanpun masih dikritisi.
Aku terus berlari meski makhluk-makhluk disampingku berteriak kasar "dasar manusia tak tahu terimakasih pada Tuhannya".
"Tahu apa makhluk itu tentang manusia, apa mereka tidak sadar, bahwasanya Tuhan telah memberikan gelar "sebaik-baiknya makhluk" pada manusia." ucapku dalam hati.
Pelarianku tak sia-sia, di depanku telah memancar sinar terang, dalam beberapa langkah saja, kakiku telah menikmati cahaya terang itu, aku masuk kedalamnya, mataku menikmati bangunan-bangunan tinggi menjulang, sinar matahari terkalahkan oleh lampu-lampu yang dijejer di pinggir sungai, jalanannyapun tampak indah dengan dengan batu-batu putih serupai mutiara, di tepi sungai, daun hijau sedang menggantungkan dirinya pada ranting pepohonan, aku terkejut ketika mataku sampai pada batang pohon itu, sepasang makhluk tanpa sehelai pakaian sedang asyik bercumbu dibawah pohon tersebut, keterkejutanku tak berhenti disitu, setelah mataku membentur perempuan dan laki-laki berjalan tanpa busana, aku semakin penasaran, lalu kuselidiki semua penghuni tempat itu, dan semuanya beraktivitas tanpa pakaian sehelaipun, ohhh tempat apakah ini? Planet barukah? Surgakah? Nerakakah? atau apa?
Pertanyaan itu terus mengusik pikiranku, aku tak sabar, kepalaku hendak meletus melihat kejadian aneh itu, akhirnya kuberanikan bertanya pada salah satu dari mereka,
"Maaf Mbak, tempat apakah ini?" tanyaku datar pada perempuan tinggi bekulit putih, dengan tidak melupakan lirikanku pada dadanya kebawah.
Dia tidak merespon pertanyaanku, hanya tangan halusnya yang bergerak merogoh tas kecil di pundaknya seraya menyodorkan beberapa lembar kertas yang bergambar patung seseorang, lengkap dengan angka-angkanya, aku tak dapat membacanya, karena otakku sedang ber-konsentrasi pada tubuhnya yang mulai meninggalkanku dan pertanyaanku.
Kulirik pada kertas pemberiannya, hanya simbol aneh disana "$, €, £, ¥, Rp " dan dipinggir simbol itu, terpampang angka 1, 10, dan 100.
"Ah apa lagi ini" otakku semakin memacu untuk berpikir cemerlang, tapi selalu saja terbentur pada perempuan-perempuan yang hilir-mudik berjalan di depanku,
"Sudahlah, aku yakin, tempat ini bukan surga melainkan neraka, karena sepengetahuanku, perempuan surga tak ada yang telanjang, semuanya mengenakan gaun-gaun cantik" seru otak kiriku .
"tapi kalau ini neraka, mengapa tak ada siksaan dari Tuhan, katanya neraka itu tempat dihisabnya makhlukNya, wah kalau begitu, aku ingin masuk neraka saja, agar lebih bebas menikmati makhlukNya" otak kanan tiba-tiba menghardik kesimpulan dari otak kiri.
jiwaku semakin kalang-kabut dengan tempat itu, lalu kulanjutkan perjalananku, sesekali memandangi keindahan makhlukNya, baru tiga langkah, tiba-tiba ledakan besar menghantam seisi tempat tadi, bangunan-bangunan tinggi runtuh, pepohonan layu seketika, air sungai yang mengalir tenang, kini telah berubah menjadi ombak besar yang menghantam tempat itu, aku berlari mengikuti mereka yang ketakutan, dalam pelarianku pikiranku menemukan jawaban atas ledakan tadi,
"Kiamat telah tiba" bentaknya kasar padaku, aku tercengang, benarkah kiamat telah tiba? Cepat kupalingkan tubuhku menghadap ke langit, "akhhhhhh…tunggu kiamat, aku belum bertobat, tunggu kiamat aku belum berdzikir, tunggu kiamat aku belum bertahajjud"
otakku langsung komat-kamit melantunkan istighfar, takbir, tasbih, tahmid pada Tuhan, beda dengan mulutku yang malah berdzikir setan "Jancok, anjing, keparat biadab", disusul jiwaku yang tenga asyik bernyanyi merdu "Kiamat jancok, kiamat anjing, kiamat keparat, kiamat biadab"
Nyawaku terbang sudah ke langit, ragaku lebur sudah tertimpa batu besar, tapi jiwaku tak henti-hentinya mendayu merdu "Kiamat keparat, Kiamat biadab"
Adalah sebuh fitrah manusia, mendambakan hidup damai tanpa perpecahan, kekerasan dan pemberontakan, hidup tentram dan damai dalam lingkaran persatuan dan kesatuan, serta toleransi yang kuat atas perbedaan-perbedaan dan ikhtilaf yang ada.
Akan tetapi dambaan seperti diatas tak selamanya harus senada dengan fitrah manusia tersebut, mengingat, dalam jiwa manusia tidak terlepas dari hukum rimba, sebuh hukum yang menjadikan manusia jauh lebih hina dari pada binatang, hukum itulah yang menjadikan manusia selalu ingin diatas, selalu menjadi yang terkuat dan terdepan.
Salah satu Faktor itulah yang menyebabkan lahirnya fundamentalis, ekstrimis, radikalis, dan teroris, baik yang bersandar dibalik lebel agama, politik, dan ekonomi.
Kita semua meyakini bahwa agama merupakan lahan pengabdian kita pada Tuhan, agama sebagai jalan lurus menuju surga-Nya, agama adalah tempat keluh kesah dan mengadu pada sang Esa, hal demikian terlihat jelas ketika setiap agama yang ada di muka bumi ini memerintahkan kepada penganutnya untuk selalu bersikap toleran, cinta damai dan penuh kasih sayang, Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.
Sejarah munculnya istilah Fundamentalisme
Secara historis dan akademis, menurut Dr. Murad Wahbah, istilah fundamentalisme digunakan pertama kali oleh Editor majalah New York Watchman Edisi Juli 1920, yang berarti: sikap menolak penyesuaian kaidah-kaidah dasar terhadap kondisi baru. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa fundamentalisme berkembang pada abad ke-20, ketika itu umat protestan yang mulai jengah dengan kehidupan religuitas agama mereka, kehidupan modern, teknologi-teknologi canggihlah yang sering menjadi propaganda keimanan mereka, dari itulah mereka menawarkan sebuah opsi signifikan yang menekankan pentingnya aplikasi Bibel secara literal dalam kehidupan seorang pemeluk Kristiani, dengan ajakan kembali lagi pada ayat-ayat Bible yang kian terlupakan, atau dalam garis besar dapat didefinisikan sebagai sebuah pergerakan atau sikap yang menekankan pentingnya komitmen dan kontinuitas dalam mentaati seperangkat prinsip dasar dari Tuhan.
Karen Armstrong penulis The Battle for God mengatakan bahwa gerakan fundamentalisme muncul begitu saja sebagai respons spontan terhadap datangnya modernisasi yang dianggap sudah keluar terlalu jauh.
Fundamentaliseme agama-agama
Sayang beribu sayang, pada dewarsa ini fundamentalisme kerap disandangkan kepada pemeluk islam, hingga muncullah "islam radikalis, islam teroris, islam ekstrimis" dan lain sebagainya, padahal asumni seperti itu salah besar, kalau kita mau bersikap objektif, di luar sana masih banyak fundamentalis-fundamentalis dari agama lain, sebut saja semisal Judaisme fundamentalis, Kristen fundamentalis, Hindu fundamentalis, Buddha fundamentalis, dan bahkan Konfusianisme fundamentalis,
Sejarah dunia telah mencatat bahwa aksi-aksi kaum fundamentalis telah memenuhi list kekerasan di belantara keamanan dunia, baik yang bersandar dibelakang agama maupun politik.
Dari agama Buddha atau Shinto, misalnya, kita masih ingat akan tragedi gas sarin yang ditaburkan oleh kelompok Aum Shinrikyo di subway di Tokyo, Maret 1995, yang menewaskan 12 orang dan melukai lebih dari 5.000 orang.
Lalu, dari bendera Kristen, Baru-baru ini kaum ektrimis Kristen Nigeria berulah lagi. Seperti dilansir AFP, Senin(3/5), mereka menyerang sejumlah desa Muslim. Akibatnya, sekitar 67 Muslim Nigeria dibantai tanpa ampun.
Dari Yahudi, Morehead menampilkan, sejak kemunculannya, selalu ada kelompok-kelompok radikal dari agama itu seperti Zelot yang menentang penjajahan Romawi dan Lubavitch Hasidic Movement. Juga, beragam kelompok ultra ortodoks yang meyakini bahwa Tuhan hanya memilih bangsa Yahudi dan akan memenangkan perang suci dengan setiap kelompok yang melawan Israel.
Dari bendara Hindu, pada tahun 1992di India New Delhi, umat hindu membantai dan menghancurkan masjid-masjid kaum muslimin, hingga tercatat sebanyak 1.800 muslimin tewas dalam tragedi tersebut. Tak sampai disitu saja, pada tahun 2002 Februari, ribuan kaum muslimin ditembak, diperkosa, dan dibakar hidup-hidup di daerah Gujarat India, padahal di daerah itulah Mahatma Gandhi dilahirkan.
Dari bendara Islam, pengeboman WTC (World Trade Center) Amerika serikat pada 11 September 2001, telah menewaskan lebih dari 2.000 orang, juga Pada tanggal 12 Oktober 2002, bom meledak di bali yag menewaskan sekitar 202 orang, 164 diantaranya adalah wisatawan asing.
Fakta diatas secata tidak langsung telah mematahkan argument yang berasumsi bahwa fundamentalis islamlah yang memicu kekerasan dan aksi terorisme di dunia ini.
Kesimpulan
Dari pemaparan singkat diatas, kita bisa menarik benang merah tentang fundamentalisme yang terkait dengan agama-agama, diantaranya adalah fundamentalisme terlahir akibat interpretasi yang salah dalam memahami teks-teks suci kitab Tuhan, kedua, fundamentalisme lahir ketika umat beragama mulai jenuh terhadap modernisasi dan teknologi yang berkembang, ketiga, fundamentalisme terjadi sebagai aksi protes terhadap pemerintah yang kurang tegas menghadapi pelbagai persoalan hidup yang ada.
Fundamentalisme hanyalah sikap instant yang kerap dijadikan sebagai jalan mudah menuju surga Tuhan, fundamentalisme hanyalah kedok suci yang sejatinya adalah pencoreng nama baik Tuhan.
Jam 19.00 tepat ketika nasi buka puasa masih membekas di sela-sela gigi saya, saya undur diri dari rayuan kolek dan minuman dingin di lemari rumah, bergegas menuju konsuler KBRI Kairo, dibantu dengan jasa Eltramco kaki saya sudah menginjak halaman konsuler lengkap dengan sampahnya.
Lima belas menit kemudian, tiga sampai lima orang berdatangan menemani penantian saya disana, hingga setelah setengah jam, kesendirian saya telah berubah menjadi jama'ah yang berjumlah sekitar 36 orang, pikiran saya lalu iseng, apa tujuan kita sama? Dengan menyembunyikan rasa malu yang menengadah naik ke ubun-ubun, saya beranikan bertanya pada salah satu atau lebih dari mereka, dan Alhamdulillah jawabannya seperti yang saya harapkan. Kita satu tujuan.
Adzan isya' mulai terdengar memanggil-manggil jama'ahnya, saya baru sadar ternyata saya sudah berdiri disana kurang lebih satu jam, benar kata orang, manunggu adalah pekerjaan paling menjenuhkan, untung saja rasa jenuh itu saya hiasi dengan ngobrol bareng dengan teman-teman yang satu rasa, dan hasilnya saya bisa lebih mengenal karakter dan sifat mereka.
Bus yang saya tunggu akhirnya muncul juga, dalam hati saya sebenarnya masih menyisakan kemarahan akibat keterlambatannya, tapi kemarahan itu sirna setelah melihat busnya ber-AC dan tidak sesak.
Dua menit tak terasa duduk enak di bus ber-AC, setelah sang sopir bus memarkirkan busnya, saya turun dengan 36 teman yang lain dan menuju suatu tempat yang sangat mewah, dibibir pintu masuk, dua orang penjaga memeriksa barang-barang yang saya bawa dengan alat detectornya, setelah memastikan barang saya tak ada yang mencurigakan, akhirnya say dipersilahkan masuk ruangan dengan sangat terhormat. Ruangan besar yang saya tak tahu berapa kira-kira diameternya, dilengkapi dengan hiasan bunga seta aroma yang sangat menawan, seorang resipsiones menyambut saya dengan sangat ramah sambil mempersilakan kepada saya untuk menduduki kursi yang telah disediakan.
Mata saya mengelilingi hadirin yang tengah menunggu acara dimulai, dari orang berkulit hitam sampai kulit putih semuanya mewarnai seisi ruangan tersebut, tak terkecuali orang mesir yang merupakan penyelenggara acara itu.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya podium berukuran sangat besar tiba-tiba terbuka lebar disusul dengan penayangan film dokomenter tentang budaya dan seni Indonesia. Kontras semua orang yang khidmat menyaksikan film tersebut bersorak antusias akan kebudayaan bangsa Indonesia, film yang berdurasi 20 menit itu, menceritakan tentang suasan bulan Ramadhan di Indonesia, sangat serasi sekali dengan tema yang di usung penyelenggara acara "Ramadhan livestyle in Indonesia" sebuah acara yang terselenggara atas kerjasama kedutaan Indonesia di Kairo dengan pihak National Cultural Center Cairo Opera House.
Setelah MC membuka acara, lalu dilanjutkan dengan sambutan dan kata pengantar tentang Indonesia oleh wartwan Koran Al-ahram, dalam sambutannya, sang wartawan mengatakan bahwa hidup di Indonesia bagaikan hidup di negeri sendiri, masyarakatnya ramah, sopan, beradab dan tidak mempermalahkan perbedaan yang ada.
Setelah beberapa menit, akhirnya pembawa acara memanggil nama Bapak Abdurahman M. Fachir selaku duta besar Republik Indonesia di mesir untuk memberikan kata sambutan kepada pihak kebudayaa opera house.
Dalam sambutannya dengan dua bahasa tersebut (inggris-arab), beliau mengucapkan beribu terimakasih atas apresiasi pihak kebudayaan mesir demi menampilkan budaya dan seni bangsa Indonesia, dan di akhir sambutannya, beliau bertanya kepada hadirin terhadap minat untuk mempelajari bahasa Indonesia, dan hasilnya sangat mengejutkan, sekitar 200 orang dari berbagai belahan dunia antusias sekali untuk mempelajari bahasa Indonesia.
Selanjutnya, masuk pada acara inti, yakni penampilan budaya dan seni dari pelbagai daerah di Indonesia, seperti aceh dengan Melayu dance-nya, Jawa dengan musik Angklungnya, Jakarta dengan Marawishnya, Sumatera dengan tari samannya, dan ditutup dengan nasyid Dai nada, kelompok nasyid karya mahasiswa Indonesia di Mesir yang sempat dimuat di tv-tv local Mesir.
Jam 23.00 acara telah usai, sebelumnya diisi dengan foto-foto demi mengabadikan moment penting tersebut, lalu di luar ruang, hadirin disuguhkan hidangan Indonesia yang berupa, pastel, kue lumpur, tahu isi dengan kolek dan air mineral.
Sempat seorang warga mesir menanyakan pada teman di samping saya, perihal nama kue-kue tersebut, lengkap dengan cara pembuatannya, Indonesy Hilwah, begitu kira-kira terakhirnya setelah sebelumnya berterimakasih.
Setelah semuanya keluar dari ruangan tersebut, bus yang kami tumpangi sudah menunggu di halaman Aula, saya masuk ke bus dengan teman-teman yang lain sambil membawa sebuah pertanyaan penting, "warga mesir telah memberikan apresiasi yang sangat istemewa bagi Indonesia khususnya dalam bidang budaya dan seni, lalu kapan Indonesia berani mengapresiasi budaya dan seni bangsa Mesir, yang terkenal dengan kebudayaan tertuanya?"
Semoga bangsa kita bukan termasuk bangsa yang tidak peduli terhadap kebudayaan bangsa lain, karena kata orang, bangsa yang tidak menghormati kebudayaan bangsa lain adalah bangsa yang tidak berbudaya.
Melihat pentingnya memiliki kebudayaan bangsa yang original, Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan bahwa kebudayaan adalah senjata terbaik untuk diplomasi internasional.
Otoritas sastra dakwah pada dewarsa kini kian menggiring banyak penganutnya, sebuah gerakan dakwah yang bergerak dibawah naungan forum-forum sastra. Narasi sastranya pun tak jauh-jauh dari sekitar selangkangan agama dan religi, tanpa adanya implikasi rill atas apa yang elukannya, hingga gerakan demikian bisa lebih condong pada gerakan-gerakan berbau politik yang mengatasnamakan sastra islami, kiranya analisa kritik yang dilontarkan Ahmad Sahal pada salah satu opininya di koran kompas yang mengatakan bahwa dalam eforia sosial-politik rupanya tidak sekadar tampil dalam berbagai keramaian demonstrasi, hiruk pikuk dialog "gosip" politik di layar tv, tetapi juga menyusup ke dalam kesenian kontemporer kita. Bahkan lebih jauh lagi, ada yang menganggap bahwa eforia ini ikut mempengaruhi cara kita mengapresiasi seni. Dan, perkembangan yang serba "politik" ini, rupanya sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. (Kompas, 2/6/2000), kata "kesenian" diatas tentunya lebih condong pada sastra yang mulai terjebak dalam lembah politik praktis.
Kalau pada tiga tahun lepas budayawan Indonesia Taufiq Isma'il pernah meresahkan sastra vulgaritas, mungkin hal demikian merupakan hal yang sangat wajar, melihat watak dan sifat sesepuh yang selalu khawatir akan kebobrokan generasi mendatang M. Faizi, "Hudan, Taufiq, dan Generasi Nol Buku" (JP 8/7/2007), meskipun Taufiq sendiri kurang objektif dalam penilaian sastra yang ia resahkan, ia lebih mendahulukan keresahannya sebagai orang tua dari pada inerpretasi secara mendalam terhadap sastra vulagar tersebut, maka tak heran jika Hudan Hidayat menyebutnya sebagai Nabi tanpa Wahyu.
Penulis novel kontroversial, Tuhan, Izinkan aku menjadi pelacur, M. Dahlan pernah mengatakan bahwa sebuah karya sastra yang vulgar ditulis bukan dengan maksud menjerumuskan pembacanya, akan tetapi agar pembaca lebih merasakan dan menyelam sendiri dalam lembah hitam dunia metropolitan atau menurut istilah Foucault, Lyotard, dan Derrida disebut postmodernisme dekonstruktif yang sangat berperan di dalam menciptakan ruang pembebasan tubuh dan hasrat. menawarkan logika emancipation of body (pembebasan tubuh) dan liberation of desire (pembebasan hasrat) dari berbagai kekangan dan pembatasannya, termasuk kekangan dan batasan dalam bersastra.
Sastra dakwah dan perannya
Pada zaman Rasulullah dulu, yang menjadi ciri khas bangsa arab adalah seni syairnya yang amat memukau, hingga turunlah ayat yang menerangkan larangan bersastra pada jalan syaitan, mungkin hal tersebutlah yang mendorong lembaga-lembaga sastra islami untuk menerbitkan sebuah karya sastra yang satu jalan dengan Al-qur'an, hingga kita bisa menikmati Ayat-ayat Cintanya Kang Abik, ....
Sebuah karya sastra yang mengajak pembacanya untuk mengenal islam versi mereka, maka tak heran jika didalamnya terdapat "fatwa-fatwa" kecil dari sang pengarang, semisal legitimasi poligami, cinta versi islam, bahkan kang Abikpun sempat membawa kita flash back sejenak pada zaman sahabat Rosul yang tertuang dalam mimpi Fachri.
Meskipun ada beberapa hal yang secara disengaja atau tidak kang Abik sendiri sudah masuk dalam sastra vulgaritas, seperti kisah Fachri pada malam pertamanya dengan Aisyah.
Forum sastra islami semisal FLP, KSI dan sebagainya sebenarnya mereka telah menjual agamanya dengan iming-iming sastra, dan ketika agama sudah menjadi nilai jual, maka esistensi sastra itu sendiri lambat-laun akan punah dengan sendirinya, padahal karya sastra dan kajian keislaman mempunyai perbedaaan yang amat mendasar, jika itu terjadi lalu apa bedanya karya sastra dengan karya keislamana?
Pembasan sastra tubuh
Tubuh perempuan seringkali dijadikan objek sastra kita dewasa ini, bahkan karya tersebut acapkali menyangkutpautkan daerah selangkangan atau daerah dibawah pusar, vulgaritas, seksualitas, dan erotisme kerap menjadi bumbu sedap pada karya sastra akhir-akhir ini.
Setelah samannya Ayu Utami berhasil merebut ranting tertinggi dalam ranah sastra indonesia, muncul Djenar Maesa Ayu lewat novel terbarunya jangan main-main dengan kelaminmu, Naning Pranoto juga tak mau ketinggalan, novel dengan judulnya yang sangat kontroversi, wajah sebuah vagina lagi-lagi mewarnai ranah kesusastraan di indonesia, yang kesemuanya oleh Taufiq Ismail dikategorikan dalam Sastra Madzhab Selangkangan (SMS) (Jawa Pos, 17 Juni 2007), beda lagi dengan Yasraf Amir Piliang yang berasumsi bahwa fenomena tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan kapitalisme (sebagai ideologi ekonomi) yang cenderung bergerak ke arah libidonomics, yaitu sistem ekonomi yang di dalamnya terjadi eksplorasi secara ekstrem segala potensi libido sebagai komoditi, dalam rangka meraih keuntungan maksimal (added value). Ideologi libidonomi kapitalisme memperlakukan tubuh dan segala potensi libidonya sebagai titik sentral dalam produksi dan reproduksi ekonomi.
Epilog
Sebenarnya antara sastra dakwah dan sastra vulgaritas, kesemuanya telah mempertahankan derajat sastra kita dalam ranah karya sastra dunia, hanya saja ketika kesemuanya tersebuh terbentur oleh kapitalisme materialistik atau barang dagangan, maka tak heran jika perlombaan yang mereka lakukakan tak berputar dari daerah pasar dan profesi.
Salah satu budayawan kondang asal Madura D. Zawawi Imron pernah mengatakan bahwa sastra bisa memberi hikmah bagi orang yang mau mencari hikmah, sastra bisa menjadi hiburan bagi orang yang mencari hiburan, dan akan melompong bagi orang yang tidak punya apresiasi sastra.
Lalu yang menjadi pertanyaan kita saat ini, relakah kita menjual kebebasan sastra dengan nilai tukar yang berupa materi yang bersifat relativisme?
Banyak orang yang mengekspresikan agama sebagai ritual universal antara Tuhan dan hamba, hingga tak memungkinkan persepsi seperti itu menghasilkan paradigma baru yang melupakan peran peduli sesama, baik manusia, hewan, tumbuhan atau makhuk hidup lainnya, dengan kata lain, manusia beragama dewasa ini terlalu mabuk menyembah Tuhan dari pada peduli terhadap makhluk Tuhan.
Padahal kalau kita melihat secara rasio, Tuhan sudah terlalu Maha dari sang Maha, sudah Esa dari sang Esa, sudah Raja dari segala raja. Satu istighfar, tahmid, takbir, dan sebagainya tidak akan mampu mengurangi atau melebihkan ke-Esaan Tuhan.
Kiranya tak salah apa yang pernah diungkapkan oleh sastrawan yang juga seorang budayawan kondang, Ahmad Tohari penulis novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, yang mengatakan bahwa zaman ini banyak umat beragama tapi tidak beragama, dalam arti lain, manusia beragama saat ini belum bisa menafsirkan serta meresapi makna dari agamanya, bagi mereka agama hanyalah wadah akhirat, tempat kematian yang ujung-ujungnya tak jauh dari surga dan neraka, padahal Tuhan sudah mewanti-wanti pada makhluknya untuk tidak melupakan urusan duniawi, wala tansa nashibaka min ad-dunya, tapi mungkin kitanya saja yang ngeyel.
Ritual spritualistik dalam agama bukan tujuan utama dalam mengaplikasikan agama itu sendiri, akan tetapi sebagai sarana yang memfasilitasi manusia untuk berbuat baik, contoh yang bisa diambil adalah ibadah puasa, semua agama di belahan bumi ini mengajarkan pada pemeluknya untuk berpuasa, meskipun dengan ritual dan tatacara yang berbeda, dalam Islam dikenal dengan istilah puasa Ramadhan, dalam Kristen dikenal dengan istilah berdarma (kebiaraan), dalam Katolik lebih dikenal dengan Aksi Puasa Pembangunan (APP), yakni puasa dan pantang secara resmi selama 40 hari menjelang paskah (pra-paskah) mulai hari Rabu sebelum paskah, Rabu Abu dan diakhiri dengan Jumat Suci. Aturannya, makan penuh sekali, sementara minum tidak diatur, dalam agama Konghucu berpuasa dianjurkan dilakukan setiap hari. Adapun bagi umat biasa alias awam, puasa hanya dianjurkan pada tanggal 1 dan 15 bulan Imlek. Tanggal 1 artinya mati, dan 15 bulan purnama, sehingga jika dihitung terdapat 24 hari puasa sepanjang tahun, begitupun dalam agama Buddha, puasa dilakukan setiap hari kendatipun beda penafsiran dan tatacara puasa dengan agama-agama lain, bagi Buddha puasa tidah harus menahan makan dan minum akan tetapi dengan berbuat baik dan tidak berbuat jahat kita sudah berpuasa, dalam agama Baha'I Waktu puasa adalah 19 hari dari tanggal 2 Maret sampai 20 Maret. 19 hari sama halnya satu bulan, karena dalam penanggalan Bahai satu bulan 19 hari, sementara satu tahunnya terdapat 19 bulan. Setelah menjalani puasa satu bulan penuh, masuklah hari pertama tahun baru Bahai yang dirayakan sebagai hari raya Nauruz.
Lalu yang menjadi kesimpulan dari papaan diatas adalah, bahwa esistensi agama bukan terdapat pada penekanan ibadah-ibadah secara ritual belaka, akan tetapi lebih dari itu bagimana kita mengartikan ritual-ritual tersebut dengan bentuk yang lebih real, lebih bermanfa'at bagi sesama makhluk, lebih nyata, dengan menyantuni fakir miskin, menolong orang-orang tertindas, dan selalu menjunjung sikap toleransi atas perbedaan yang ada.
Ketika kita sudah bisa menginterpretasikan agama dengan kacamata sosial, barulah kita bisa menkritikisi atas apa yang menjadi pemahaman Karl Max tentang agama, bagi dia, agama tidak lain adalah produk dari masyarakat kelas dan merupakan ekpsresi dari kepentingan kelas. Dalam hal ini, agama dijadikan alat untuk memanipulasi dan menindas terhadap kelas bawah dalam masyarakat. Dengan penindasan yang terjadi, agama lalu menjadi tempat untuk mengharapkan penghiburan akan dunia yang mendatang. Dengan kata lain, agama membuat manusia menjadi teraleniasi dari dirinya sendiri.
Pernyataan Karl Max diatas sebenarnya tidak bertentangan sama sekali dengan kondisi yang terjadi di lapangan, mungkin pada masa itu, Karl Max mulai jengah akan kaum beragama yang sama sekali tidak membekas pada jiwanya ruh keagamaan atau ruh Tuhan, hingga bagi dia, agama dan kaum beragama tak lebihnya seekor serigala jahat pemangsa kebebasan manusia, lebih jelas lagi Karl Max menyebutkan bahwa agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu keadaan yang tidak memiliki jiwa, sungguh pernyataan yang amat miris sekali ketika kita membacanya secara tekstual, akan tetapi bila kita menafsirkannya dengan kacamata positif, mungkin akan lebih membuka mata kita bahwa kritik pedas yang dia lakukan terhadap agama, bukan bertujuan untuk mengkambing-hitamkan agama yang ada, akan tetapi agar kaum beragama, atau paling tidak pemuka agama selalu mengup-date agamanya dengan modernisasi dan kemajuan teknologi yang selalu berkembang pesat, hingga agama bukan lagi perkara kuno yang menakutkan, akan tetapi agama mampu menyerap dan menyeimbangi kemajuan zaman, mengutip dari sebuah hadits "Al-islam sholihun likulli zaman wal makan" (islam selalu relevan di seluruh lini kehidupan), meski hadits itu dari agama Islam, tapi saya yakin agama-agama yang lain juga akan mengamini bahwa agama akan selalu relevan dan berkembang mengikuti arah kemajuan zaman.