Malam ini kutelanjangi kotamu mencari titik sunyi di sela-sela pahamu Tak kutemukan apa-apa Hanya sendok yang menari dibalik jeruji besi menjadikan orkestra malam makin gaduh cuma asap yang mengitari bikin jantung berdegup tak berhenti Harusnya malam itu aku bermimpi tentang hujan yang menerpa kegundahan Atau tentang kakek tua yang dilanda amnesia Tapi kemana mimpiku? Apa mungkin sedang berbaur dalam pesta berkepanjangan? Ataukah, ia sudah mati diintimi iblis dan setan? Atau mungkin saja, ia sedang terbuai oleh aroma kemaluan? Cangkir teh tergelepar Asap Tuffah berderai memandangi malam tanpa bintang 1-: Apa yang kau lakukan disini anak muda? 2-: Seperti yang kau lihat 1-: Tapi aku tidak suka menilai seseorang hanya dengan tingkah lakunya, bagiku, ucapan dari bibirnya lebih mewakili tentang apa yang tengah ia rasa? 2-: Jadi kau tak percaya pada adanya kebohongan dan durhaka? 1-: Toh aku bukan anak kecil, yang lebih suka pada mainan baru daripada bisikan kalbu 2-: Baiklah, aku sedang minum teh hangat dengan syisah 1-: Hanya itu? 2-: Seperti yang kau lihat 1-: Selain aku bisa mendengar ucapanmu, aku juga bisa membaca getaran di bibirmu 2-: Kau siapa? Apa hakmu mengintrogasiku seperti ini? 1-: Alangkah baiknya jika lau jawab dulu pertanyaanku 2-: Arghhhh...baiklah, aku kesini ingin istirah sejenak dari perjalanan hidupku yang meletihkan, dari dinginnya kotamu yang menusuk tulamg-tulangku, dan dari gonggongan anjing-anjingmu yang mengganggu mimpi malamku 1-: Hanya itu? 2-: Bahkan kalau bisa, aku ingin menghindar dari gelegar tawa keserakahan, tangisan-tangisan bayi yang kehilangan masa depan, dan para agamawan yang menculik kuasa tuhan 1-: Jadi kau ingin memghindar dari kehidupan sosial? 2-: Bagaimana kau mendefinisikan kehidupan sosial? 1-: Menurutmu? 2-: Baiklah, akan kujawab sebagai hadiah atas kesudianmu temani aku malam ini. Bagiku, kehidupan sosial adalah kehidupan yang tak saling menyakiti, saling berdikari, saling tahu diri, dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan 1-: Jadi itu alasan kau datang kesini? 2-: Iya 1-: Ini keputusanmu? 2-: Tidak, hanya sebatas pelarian sesaat. Dan sekarang, kau siapa? 1-: Maaf kawan, aku harus kembali ke tubuhmu
Mengenali cintamu telah membikin aku tak takut luka Karena raga hanya luka yang tertunda dan luka adalah cinta yang setia begitu kan katamu? Kadang aku heran pada kesetiaan yang kau tuhankan padahal, telah aku renggut keperawanan rembulan Cahayanya kita habiskan berdua separuh untuk wajahmu separuh untuk cintaku Tapi kau menolak lantaran bulan tak selamanya setia Kadang purnama tertawa kadang tersenyum bahagia bahkan terkadang tidak ada Aku ingin menjadi kunang-kunang saja yang selamanya mencintai malam Katamu, memecahkan kristal di retina Ada apa dengan matamu Sayang? Kenapa merah? Tak apa, aku hanya takut tak bisa menjadi malam yang kau impikan Sudahlah, tak perlu kau pedulikan malam masih ada siang yang akan datang Kemarilah, biar kuusap air matamu dengan bibirku
Wajahnya yang cahaya, senyumnya yang sutera, dan ucapannya yang surga telah meluluh-lantakkan seisi istana dalam relung dadaku, bagai badai yang menyambar perayu layar hingga menjadikannya serpihan-serpihan kayu yang mengapung diatas samudera airmata, ya, airmataku selalu gerimis, saat belati di matanya tertancap di belahan mataku, airmataku selalu gerimis, saat racun di bibirnya tertuang di cawan bibirku, oh, adakah Tuhan yang suci, atau cinta ini yang sebenarnya suci?
Setiap lima kali dalam sehari, jiwa dan ragaku selalu berkunjung ke rumahnya, ada kedamaian yang selalu menyelinap kedalam rongga kalbuku, ada aroma surgawi yang sesekali membasahi urat nadi, seakan aku menjadi satu-satunya selir diantara bidadari yang tengah bersemedi di taman sunyi, ya, di rumahmu, aku selalu menjadi putri kecil yang menari mengitari altar suci; Cinta.
Kala pagi meneteskan secercah sinar mentari, aku datang ke pangkuannya, menceritakan secabang mimpi yang kau ikatkan disana, hanya ada aku dan kamu, sambil kulukiskan bagaimana senyummu telah mampu menciptakan sungai-sungai rindu yang kelabu, bagaimana belaianmu telah menjadikan lanskap rambutku layu, tapi hanya diam yang menjadi bahasamu, sesekali tersenyum saat tanganku memainkan kerah kemeja yang melekat di tubuhmu "Tuhanku sayang, kapan kau meminangku?"
Kini, hari-hariku kulalui hanya dengan menunggumu, menantikan pinangan sang pengeran bersama kuda jantan, tapi kenapa ia belum juga datang? Sampai-sampai aku makin cemburu pada waktu, kenapa tak sedikitpun ia memberiku ruang untuk sekedar tatap temu, malah ia tak habis-habisnya menyuguhi candu di ruang rinduku, "Tuhanku, aku selalu menunggumu, hingga senja tak lagi jingga"
Sudah berpuluh bahkan beribu merpati yang kulayangkan ke istanamu, sekedar mengingatkan, ada mimpi lain di luar sana yang tengah menantimu, ada jiwa kosong yang berusaha sabar menantikan dekapan tubuhmu, ada canvas putih yang tengah menunggu tarian jemarimu melukiskan pelangi."Jadilah warna merah, yang selalu setia menyandingi hijau di tubuh pelangi" tulismu berfilosofi."Bahkan, kalau kau mau, kan kupoles tubuhku dengan warna pelangi, agar matamu tak berhenti menikmati pagi" balasku.
Dan untukmu kekasih gelapku, hanya kata Maaf yang bisa kusandingkan di pelipis rindumu, maaf, kalau aku tak akan membawa senyummu kesana, karena sungguh, aku sangat khawatir kalau Tuhan benar-benar tak mau dipoligami, bukankah itu juga maumu?
Enam Belas Saat jiwaku retak, yang kulihat hanyalah bayang-banyang hitam lagi kelam, seperti seorang petapa yang tengah bersemedi dalam goa, tak ada siapa-siapa yang temani kesendiriannya, hanya sehesta hampa yang setia. Tapi, kala kehadiran matamu menusuk tajam ke ulu hati, tiba-tiba setetes airmatamu telah membanjiri seluruh urat nadiku, menjelma pembuluh darah yang menggantikan sel-sel darah mati. Lantas, seperti apakah misteri dibalik matamu, hingga mampu mengairi nadiku? Di matamu pula, anganku menemukan bongkahan dari puing-puing jiwa yang retak, sesekali menetralisir terbenturnya mimpi dan kenyataan, waktu itu aku beranggapan, bahwasanya mimpi memiliki dunia lain yang tak pernah bisa disentuh realita, tapi nyatanya, lewat pancaran sinar di matamu, aku mencoba menerobos lorong kosong maya hingga sampai pada retina nyata. Haruskah aku mempelajari semiotika mata? Sepuluh Bagiku, kehidupan tak ubahnya secarik kanvas putih, ada kalanya aku memulai dan ada kalanya aku mengakhiri, lewat senyuman di bibirmu, inginku menuang tinta pelangi pada goresan hidupku, hingga ketika sampai pada tetes akhir, aku akan mengakhirinya dengan airmatamu. "Mengapa harus pelangi? tak cukupkah warna darahku" celetuk bibirmu "Goresan dengan satu warna, tak ubahnya kerangka sketsa, substansi dan esensinya belum menemukan apa-apa, ada kalanya rembulan menipis sabit, ada kalanya juga, rembulan rapuh separuh, pun ada kalanya, saat rembulan mencapai purnama, begitulah kehidupan, selalu singgahi perubahan." Karena aku yakin, akupun akan bosan, kalau setiap saat bercinta, tapi tak pernah berselisih tentang cinta, aku juga akan jenuh, walau setiap subuh, kau selalu membangunkanku dengan kecupan, toh, aku juga masih butuh sesekali tamparan. Bukankah kasih sayang adalah hal perasaan, bukan tindakan? "Tapi aku mencintaimu dengan amat sangat realistis?" lidahmu menepis "Kurang tepat kalau kau bilang realistis, itu hanya sebatas empiris saja" Nol Sembilan Kalau jarak bisa mempertemukan kerinduanku padamu, maka aku akan mendatangimu tanpa jarak, kalau waktu mampu memisahkan kerinduanku padamu, maka aku akan menjemputmu tanpa waktu, dan kalau tuhan berani mengatur kerinduanku padamu, maka aku akan tetap menikahimu, tapi kelak, di hari kematian tuhan. "Tapi itu tidak mungkin Sayang?" "Apa yang tidak mungkin, kalau Tuhan menghendaki?" "jadi kau tidak akan melangkahi takdir Tuhan?" "Tidak, karena kaulah tuhanku" tuhan itu cinta, tuhan itu kasih sayang, haruskan aku berpaling dari tuhan? toh cinta dan kasih sayangku sudah kuikatkan erat-erat di sebelah jantungmu, lalu bagaimana mungkin aku harus mencari cinta, tanpa Tuhan? O ya Sayang, Semalam aku sempat menelanjangi ragamu, bukan karena apa, tapi aku hanya ingin mencari titik-titik cinta disana, dan nyatanya, sama sekali tidak kutemukan. Esok malam, bolehkan kutelanjangi jiwamu?
Telah kau sesakkan dadaku, bahkan, mimpi malamku entah sudah berapa kali kau putuskan, hingga saat matahari membias pelangi, kau sama sekali tidak pernah mengizinkanku sarapan pagi, walau hanya sepotong roti. "Tapi aku akan membawamu menuju cintamu" selalu begitu ucapmu. Untuk kesekian kalinya, pagi ini, aku harus absen ke kamar mandi, menyelesaikan perjalanan kemarin yang belum usai, meski sebenarnya ragaku sudah hampir layu, sabarku juga hampir pilu, tapi aku yakin, aku memulainya dengan cinta, dan di ujung jalan, akupun akan mengakhirinya dengan cinta, dialog di salah satu film yang menumbuhkan gairahku. "Ya, kau tak akan mati karena cintamu" selalu begitu dalihmu. Asal kau tahu, aku tak pernah takut akan kematian, toh ia adalah tempat istirah paling indah, seperti halnya aku tak pernah takut pada cobaan yang melintang, bukankah cobaan adalah jembatan menuju kedewasaan, dan kedewasaan adalah satu pilar dari kehidupan, jika satu pilar goyah, akan hidup akan terarah? "Cinta itu pengorbanan Kawan, bertahanlah!" Aku tahu cinta itu pengorbanan, pengorbanan untuk selalu bertahan dan menyerang, pengorbanan untuk senantiasa memutuskan dua pilihan, detik ini, aku telah memilih salah satu dari keduanya, akupun sudah siap berkorban, tapi cintamu itu telah teracuni oleh sistem Kawan, dan sistem itu benar-benar telah mampu menggoyahkan cintaku.Kau pikir aku kuat? "Sistem itu dibuat untuk satukan cintamu Kawan..." Tapi mengapa, saat kemauan sistem sudah aku turuti, malah sistem yang tidak pernah mau mengalah menuruti kemauanku? apa itu yang kau bilang cinta? Tidak Kawan, definisi cinta bagiku sangat sederhana, tak perlu tertera dalam tanda-tanda, juga tak perlu terungkap lewat kata-kata, tapi cukup kau rasakan menemukan satu kesimpulan; Percaya..! "Baiklah, akan aku catat cintamu dengan cintaNya, dan semoga jiwamu kian menyatu dengan cintaNya" sepertinya, virus cinta tengah membelenggumu Kawan. Tapi aku malu, saat menemuiNya nanti, aku tak punya banyak baju untuk menutupi dosa-dosaku, haruskan aku menemui Tuhanku dengan tubuh telanjang?
Bekas gigitanmu masih melekat di buah apel sisa semalam, jejak gigi seri, dan gigi taringmu masih terpahat halus disana, haruskah kumesiumkan bekas gigimu di lemari kamarku?
Agar kelak kau tahu, sejarah selalu indah untuk dikenang.
Aku tahu, kau lebih suka strowbery dibandingkan apel, katamu, strowbey itu seperti seorang perempuan, mungil, manis, dan sedikit asam.
Tapi, mengapa kau masih makan apel pemberianku?
"Apapun pemberianmu, merupakan semiotika alami dalam cinta, seperti halnya Juliet yang menggunakan racun sebagai semiotikanya"
Tapi Sayang, aku lebih suka menginterpretasikan buah apel hanya sebagai simbolisme dari satu tradisi saja, seperti coklat di hari Valentine, atau ketupat di hari raya, sedangkan cinta, sungguh, bagiku tak pernah menganal penanda (signified) atau petanda (signifier) seperti dalam konsep yang ditawarkan Ferdinand de Saussure
Sambil membetulkan rok panjang yang terbalut di sekujur paha hingga mata kakimu, kau menatapku tajam, seperti kulit apel yang terkupas sebilah pisau.
"Kita, sudah terjebak dalam siometika denotatif dan siometika konotatif, mungkin ada benarnya yang orang bilang, bahwa perempuan selalu bernaung pada perasaan, sedangkan laki-laki selalu berpijak pada logika/pikiran"
Lantas apakah seorang perempuan tak kan bosan mengkultuskan perasaan, dan sebaliknya, apakah laki-laki tak pernah berhenti meniduri pikiran?
Ucapku, sesekali terbenam di paha kirimu
Tiba-tiba kau berdiri, kulihat, matamu sedang asyik menikam malam, lalu kau datang lagi membawa sebuah batu dan segenggam abu
"Lihatlah batu ini, saat kuhancurkan nanti, batu ini akan berubah menjadi abu, batu yang awalnya keras akan terlihat sangat lemah di hadapan angin, tapi apakah abu itu akan berpisah dengan abu yang lainnya?"
Nah, disanalah kita meminjam konsep Gadamer (1900), sebuah teori asimilasi horison (Fusion of Horizons), tentang peleburan dua horison yang (katakanlah) saling bertentangan, dalam proses peleburan itulah, kita dipaksa mengkonsumsi dua horison tadi, hingga lahirlah satu sintesis empiris dari dua kubu tersebut, seperti halnya buah apel dan strowbey, saat kau pinjamkan kesukaanmu padaku tentang buah apel, secara tidak langsung, kesukaanmu dan kesukaanku telah melebur dalam buah apel tersebut, meski tak mengunyahnya, tapi desiran nadimu telah mengalir di nadiku, lewat buah apel yang kau suguhkan dari tanganmu, bahkan saat mulutku sudah letih mengunyah, ada gigi taring dan serimu yang biasa kau gunakan menggigit apel untukku.
Sejak malam itu, bekas gigitan apelmu, selalu kujadikan hiasan dinding kamarku, ada yang masih tinggal setengah, ada juga yang hanya tersisa sepalnya saja, bahkan ada yang hanya tersisa tangkai dan sedikit jigong kuningmu, tapi mengapa aku tak pernah bosan mengoleksi bekas gigitan apelmu?
Monolog Sebuah Dosa
Bukan, bukan seperti bayi yang sering mereka apologikan, bukan demikian Sayang, karena sungguh, kita tak akan pernah kembali seperti bayi, kita tak kan pernah sanggup sepenuhnya suci, ada banyak dosa, ada beribu noda, ada berjuta alpa, yang lebih dulu membuat kita tua renta.
Tanpa kita sadari, kita lahir dalam keadaan berdosa, sembilan bulan lamanya, kita telah merenggut ketenangan bunda, sembilan bulan lamanya, kita curi mimpi indahnya, sembilan lamanya, kita rampas tubuhnya, bahkan saat persalinanpun, harus berliter-liter darah yang ia korbankan demi sebuah senyuman, apa itu bukan dosa?
Lalu saat kematian datang mencabut cita-cita, lagi-lagi kita telah berdosa, saat senyuman sanak keluarga, telah kita gantikan dengan duka, bukankah itu dosa?
Lantas, apakah manusia akan selalu berdosa?
Dosa itu seperti jejak kaki onta di padang pasir, tiap kali jejak itu hilang terhempas angin, maka akan selalu ada jejak-jejak baru yang tertinggal disana, seperti pula dengan kanvas putih, adakah kita rasakan nilai estetika sebuah lukisan, tanpa tumpahan tinta?
Dari sanalah, akan lahir pahala-pahala baru dari rahim dosa.
Ingatkah kau pada Adam?Saat ia berdosa, Tuhan tidak serta-merta menyiksanya dalam neraka, malah, Tuhan langsung mendekralasikannya sebagai penguasa bumi, karena Tuhan tahu, manusia tanpa dosa, adalah penciptaan yang sia-sia.
Dan saat itulah pahala-pahala baru terlahir, dari satu rahim; Dosa
[Fiksi Mini] Hari Raya
Sehabis sholat Ied, sang anak langsung bergegas mencium tangan ibunya, sang ayah yang tengah duduk sebelah ibu, tiba-tiba protes "mengapa bukan tanganku yang kau cium duluan?""kalau tanpa rayuan dan kecupan ibu, pasti ayah tak kan mau membelikanku baju baru"
"Jangan kali ini Sayang, aku mohon..."
"Tenang saja Sayang, aku sudah sedia kondom kok"
Sang perempuan lalu berdiri membetulkan rok mininya "kau lihat label di merk ini, aku tak ingin kau nodai dengan tangan kotormu itu"
Lelakinya bingung, di benaknya hanya ada satu kalimat "Iedul Fitri made in China"
Pagi itu, sang raja menyebarkan selebaran ucapan selamat pada rakyatnya, tiba-tiba seorang anak kecil berlari membawa selebaran tersebut pada bapaknya
"Papa...cepat pergi ke istana raja, dia sekarang lagi butuh bantuan maaf dari kita"
Bu, saya ingin baju baru
"sudahlah Nak, kain kafan peninggalan ayahmu kan masih bagus, toh manusia lebih suka melihat kita telanjang kok"
Ucap sang kuntilanak sambil melepas rantai di tubuh anaknya.
"Teruntuk Tuhanku
Saya atas nama pribadi, mengucapkan, Mohon Maaf Lahir dan Batin"
Tulis seorang pemuda di catatan Facebooknya
Tiba-tiba, akun dengan nama "Tuhanmu" menjawab catatan tadi
"Sama-sama hambaku, Aku juga mohon maaf, kalau tak sempat menciummu di surga"
Kita; hanyalah sebingkai episode pada satu sesi cerita, tentang sebuah riwayat yang memuat adegan klasik, antara kehidupan, dan kematian Aku tidak pernah memberimu kado, pun tak pernah hadiahkanmu boneka, jam tangan, coklat, atau bahkan permata, bukan karena tidak mau, bukan pula karena aku pelit, tidak, tidak seperti itu, hanya saja, aku khawatir, materi bisa mengalahkan esensi cintaku padamu, hanya saja, aku takut, bukan bayangku yang kan temani lelap tidurmu, malah boneka, jam tangan atau kado itu... Aku tidak pernah sekalipun lupa, apalagi sampai melupakan hari kelahiranmu, hari dimana kau tinggalkan surga di rahim bunda, hari pertama kau tuliskan prolog cinta di jiwamu, hari dimana kau hanya melihat cinta di matamu, aku tidak pernah lupa akan hal itu, hanya saja, aku takut, kalau waktu malah mencuri rindu di kalbu, aku kalut, saat waktu benar-benar menjadi sembilu. Bukannya aku tidak mau, menuliskan puisi di hari ulang tahunmu, bukan pula karena aku tak sanggup, merayakan hari kelahiranmu, tapi, cinta yang kita tanam di hati, benar-benar tak terserap panca indera, rindu yang kita genggam di jiwa, sama sekali tidak mengerti bahasa dan aksara, lantas, bisakah kita mencipta bahasa cinta? Kita; hanyalah sebuah sinopsis singkat, yang lahir dari sketsa kosong, dan disanalah, kita melukis rembulan, bintang, bahkan binatang Saat degupan jantung memompa darah ke seluruh sel-sel tubuhmu, hingga memenuhi setiap inci dari nadimu, disanalah, doa itu kusimpan, agar kau bisa rasakan, doa bukanlah ritual, tapi sebuah ketulusan. Umur panjang, cita-cita tergapai, dan kebahagian abadi, selalu menjadi melodi suci yang kusandungkan bersama seruling bambu di altar rindu, kalau kau tak mendengarnya, cukup kau dekatkan telingamu ke dadamu... Ucapan yang keluar dari lisan, tulisan yang terangkai lewat pikiran, sungguh hanyalah rangkaian dialog dalam drama kehidupan, kesemuanya telah diatur oleh sang pencipta sandiwara, entah tuhankah, alamkah, kausa-kah, atau diri kita sendiri... Kita; hanya memiliki usia maya Di Kotaku, September adalah awal musim semi
/ Saat jiwa sudah tak hendak lagi menyapa kata kata sudah tak ingin lagi merasa bermakna makna sudah enggan lagi menyertai aksara saat aksara sudah tak mau lagi mencintai kita Kita hanyalah kumpulan kata-kata kata-kata adalah luapan jiwa Saat kita tak kata, kita tak jua jiwa Saat jiwa tak luka, kita tak juga cinta
Malam ini, rinduku nyangkut di bulu matamu, maukah kau berkedip sekali saja, agar ia jatuh menyalami pipimu? Oh tidak, pipimu terlalu licin untuk sekedar bertengger, lihatlah ia telah tergelincir jatuh di lehermu, maukah kau usap lehermu agar rinduku menggelinding ke dadamu? "Tidak, aku ingin rindumu selalu disana, biar kau tahu, pernahkah aku bernafas tanpa rindumu" Baiklah, akan aku ikatkan ia disana, agar mengalir mengikuti desiran darah ke setiap nadimu, sampai-sampai kau lupa, bahwa kini darahmu sudah tak lagi merah, lalu rindu itu akan sampai pada tempat dimana jantungmu berdetak, dan disanalah ia akan menjadi jantung keduamu. "Tidak, aku ingin rindumu mendekap di segumpal darahku" Baiklah, akan aku suruh rinduku memeluk hatimu, biar hatimu bisa terlelap di dada rinduku, dan sekarang rasakanlah, rinduku dan hatimu telah saling tindih-menindih, entah apa yang ia lakukan terhadap hatimu, sepertinya aku melihat, hatimu telah melahirkan cabang hati. "Tidak, aku tak pernah mengenal senggama dalam cinta" Memang benar, tapi saat rinduku memeluk hatimu malam tadi, kau telah kehilangan arah, lalu rindulah yang membawamu hingga pasrah, bukankah itu yang kau pinta dari rindu? Dan kini, ia telah mabuk setelah pesta semalam, sedikit demi sedikit tubuhnya mencair, sesekali mencari jalan keluar lewat pusarmu, mulutmu, hidungmu, telingamu, dan matamu, Oh lihat, kini rinduku telah kembali nyangkut di bulu matamu. "Tidak, itu bulu kelaminku"
Tuhan Dosa yanng kusulam bersama raga dan jiwa, telah menajdi tabir penghalang pada jendela cinta, rembulan yang biasa bertengger menemani malam, sinarnya telah hilang sejengkal, menenggelamkan perahu rindu, yang biasa kuberlabuh ke rumahmu, bahkan, ruang rindu tempat semedi suciku, telah hangus terbakar oleh dosa dan kegelapan. Maukah kau nyalakan lagi rembulan itu Tuhan? Agar jejak perjalanan masa silam, tak kian pudar, agar legam di hatiku, bisa menemukan kembali melati putih pemberianmu, kalau kau tak mau, cukuplah kau nyalakan lentera malam, supaya pengap bisa istirah sejenak. Aku sadar, aku hanya pejalan malam, yang seringkali terjatuh pada jurang kehampaan, sedikit bekal yang kugenggam selalu habis dimakan siang, hingga saat malam datang, aku lupa pada jalan pulang, hanya kunang-kunang yang mengantarku menuju makam. Tidak, aku tak ingin melukis nama di batu nisan, perjalananku masih panjang, menara di istanamu belum samar kupandang, dan wajahmu tak jua kutemukan, aku masih ingin terus berjalan, sambil membunuh bidadarimu yang membuat rinduku cemburu. Tolong, enyahkan bidadarimu dari hadapanku Tuhan, aku tak pernah bermimpi menjamah bidadari, karena yang kucari, hanyalah cintamu yang hakiki, maukah? Puisi Kau ingat malam itu, tarian aksaramumu di gubuk sunyi, telah memabukkan malam-malamku, tubuhmu yang melati, sayapmu yang kenari, dan jiwamu yang suci, telah mampu memacu degup jantungku lebih pcu, ya, tarianmu telah membuatku lupa pada datangnya siang, bahkan saat mentari melahirkan pelangi, kau tetep menari, sesekali merapatkan lehermu di bibirku "kita lupakan Tuhan sejenak Sayang" ucapmu merayu. Aku yang kala itu masih pemalu, hanya setia menunggu jemari lentikmu lebih berani menyelami samudera imajiku, sambil menikmati gerak gemulai tubuhmu yang makin nakal, lalu kau tuangkan secawan arak kata-kata, sesekali menjilati bibirku yang masih kelu nan mulai layu, tapi kau tak tinggal diam, kau angkat dadamu tepat di belahan mataku, mencairkan tubuhku yang kaku, dan saat itu, kita sedang melayang mengunjungi surga aksara... Sudah Klimaks-kah Sayang? Apa yang kau maksud klimaks? di dadamu, tak pernah sekalipun kurenggut kepuasan, di lehermu, tak pernah kujumpai kecukupan, selalu kurang, dan kurang yang menjadi barometer kepuasanku, seperti embun yang tak pernah bosan mencumbui dedaunan, seperti puisi yang tak pernah lepas dari kata dan aksara, itukah definisi asmara antara kata dan jiwa? Sunyi Tiap lima kali dalam sehari, jiwa dan ragaku selalu berkunjung ke lembah sunyi, ada kedamaian yang selalu menyelinap kedalam rongga kalbuku, ada aroma surgawi yang sesekali membasahi urat nadi, seakan aku menjadi satu-satunya selir diantara bidadari yang tengah bersemedi di taman ilahi, ya, disana, aku selalu menjadi putri kecil yang menari mengitari altar suci; Cinta. Lalu cinta yang kuraup disana, telah meleburkanku menjadi satu kesatuan bersama Tuhan dan puisi, disana, di mata sunyi, dan sunyilah yang menawarkan ruang semedi paling suci, membawaku menemukan kembali esensi dari eksistensi diri, ya...aku dapatkan misteri yang terselubung diantara Tuhan, puisi, dan Sunyi, "Aku telah menjadi manusia hakiki". Tapi kini, sunyi telah pergi, menyisakan sebongkah rindu yang ia pahat di sela-sela jantung dan hatiku, bahkan tiap kali jantungku berdegup, sunyilah yang memompa darah ke seluruh urat nadiku, dan kudengar ada satu mantra yang ia tasbihkan disana "bisakah kau hidup tanpa nafasku?" "Kemarilah, kita tuntaskan persenggaman kita, disini, di taman imaji suci, sambil melukis wajah Tuhan di tubuh puisi"
Sayang, apa kau hafal lagu indonesia raya? Tidak sayang, aku lebih suka menghafalkan jalan raya, tempat dimana kita lebih merdeka Dimana kau simpan matamu, saat anak kecil penjual koran tengah berdiri dekat sedanmu, memegangi perutnya yang kosong, menyeka keringatnya dengan kemeja bolong, dan satu tetes keringatnya telah membasahi koran di tangannya, tepat pada deadline pertama; Upacara Kemerdekaan. Lihatlah bibirnya, pernahkah ia dusta? lihatlah matanya, adakah ia berpura? Dimana kau gantung telingamu, saat tangis para janda menggempa di balik meja kerja, menggendongi bayinya yang lahir tak sempurna, kakinya harus diamputasi, konon katanya, saat kecil dulu, ia tak sempat diimunisasi, karena sang ibu tak rela harus tidak makan lima hari. Adakah kau dengar jerit kesakitan disana? atau jangan-jangan, telingamu sudah tersumbat dolar? Apa kau pernah punya cita-cita menjadi seorang pelacur? yang rela menjual harga diri demi sebungkus nasi, yang menangis di balik jeruji besi, saat semalam diciduk polisi. Tidak, mereka tidak ingin menjadi pelacur, hanya saja harga BBM terus melambung. Sayang, apa kau tahu pancasila? Yang kutahu, hanya sila ke-tiga saja, Sayang kemanusiaan adalah memanusiakan manusia, bukan memanusiakan harta, bukan memanusiakan keluarga, bukan memanusiakan agama, bukan memanusiakan ideologi, bukan memanusiakan diri sendiri. Tidak perlu memperaktekkan poligami, untuk sekedar berlaku adil, cukup; santunilah fakir miskin, sayangilah anak yatim, berhentilah kikir. Sayang, apa kau pernah dengar sumpah pemuda? Tidak sayang, aku lebih sering mendengar sumpah penguasa Kami para penguasa bangsa indonesia, mengaku bertumpah darah satu, darah feodalisme, nepotisme, individualisme, apatisme, dan me-me yang lainnya. Kami para penguasa Bangsa Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa dedemit dan gunduruwo. Kami para penguasa bangsa Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa kera, anjing, babi, lintah dan semua jenis bahasa binatang. Lantas, apa kau bukan orang Indonesia Sayang? Tidak, Aku hanyalah mainan orang Indonesia... Kemarilah, kubisikkan kau sesuatu "MER(d)EKA!"